Ada dua golongan yang merumput. Pertama: satwa, dari kambing sampai kuda. Kedua: pemain sepak bola, tetapi entah kenapa pemain golf tak termasuk.
Tadi sore sekitar pukul setengah enam, sepulang dari bertamu dengan membawa pulang sebotol air minum, saya melewati lapangan kuda, sebutan warga sekitar untuk tanah lapang fasum yang pernah diwacanakan untuk bangunan SDN. Dalam gerimis tipis tampak seekor kuda sedang makan rumput. Dia masih terikat dengan delman beroda kecil terbalut ban mobil. Di NTB, delman macam ini disebut cidomo atau benhur.
Pada 2014 saya pernah memotret tukang delman sedang mencari rumput di sana. Entahlah apakah delman, kuda, dan kusirnya tadi sore sama. Kenapa tak menanya? Saya sedang enggan berdebat kusir. Oh, dari mana datangnya istilah yang melecehkan sais ini? Bisa buat posting. Tetapi biarlah itu jatah bloger lain.
Di area saya ada delman maupun dokar — tetapi dokar kini tak pernah terlihat. Tak setiap hari delman lewat di depan rumah. Itu bukan angkutan untuk bepergian, misalnya berbelanja atau mengantarkan ke sekolah, melainkan untuk anak-anak bergembiraria. Tak beda dari odong-odong.
Terus ada berapa delman dalam radius lima kilometer di tempat saya, berapa pendapatan kusir sehari narik, ke mana saja mencari rumput, kalau beli rumput ke mana, harganya berapa, lalu harga kudanya berapa, biasanya dipekerjakan sampaikan usia betapa sebelum menjadi bakso dan sate kuda? Lalu apakah kereta kuda itu berplombir?
Halah kayak wartawan aja. Misalnya pun saya dapat bahan liputan lengkap, plus foto yang sedikit rada mendekati layak, disertai infografik yang nggak jelek amat, belum tentu ada media yang sudi memuat. Yang bersedia memuat pun belum tentu rela membayar dengan layak sekian pekerjaan diborong satu orang. Buat blog sajalah.