Dalam pembukaan laporan tentang para pelaju di Jakarta Raya, Kompas menulis “Ibu Kota lebih kejam daripada ibu tiri” (Minggu, 20/11/2022). Oh, memang begitulah kata pemeo. Tetapi masih layakkah jika koran sekelas Kompas menggunakan kalimat macam itu, yang bukan berasal dari kutipan langsung narasumber?
Baiklah, orang bisa berdebat seperti di warung Indomie rebus soal semantik: yang kejam itu si Ibu Kota, bukan ibu tiri. Namun kata “lebih” itu menyiratkan perbandingan.
Cara Kompas memang tak sepejal tulisan di bokong bak truk — “kejamnya ibu tiri tak sekejam Ibu Kota — namun tetap saja menerakan stigma pada ibu tiri.
Apakah ibu tiri sampai hari ini harus menjadi sosok kejam?
Memang sih ada dongeng, pun contoh dalam pengalaman keluarga, yang menempatkan ibu tiri sebagai sosok kejam. Malah ada sekuel Ratapan Anak Tiri, jilid pertama terbit 1973, disutradarai Sandy Suwardi Hassan (¬ Film Indonesia). Film komedi juga ada yang mengangkat idiom ibu tiri, Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota (Azwar A.N., 1981; Film Indonesia)
Tetapi apakah Kompas harus menggarisbawahi citra yang kurang mendidik itu? Padahal seingat saya Kompas Minggu pernah memuat laporan yang mengoreksi stigma tentang ibu tiri.
Cara Kompas dalam laporan ihwal pelaju itu tak beda dari orang dewasa yang menyesatkan anak dengan menakut-nakuti, “Kalau kamu nakal terus nanti diurus ibu tiri.”
¬ Poster film: Wikipedia Indonesia (CC BY-SA 3.0 GFDL)
3 Comments
Semoga konten ini sampai ke editor di Kompas.
Semoga 🤣