Seksualitas pasangan milenial

▒ Lama baca < 1 menit

Seksualitas pasangan milenial

Seks. Topik yang selalu menarik, padahal punya sisi rumit karena masalah psikologis dan hormonal. Lalu Kompas melaporkan sejumlah data tentang frekuensi hubungan seks di antara pasangan milenial, antara lain merujuk laporan survei Kinsey Institute, Indiana, Amerika.

Kinsey adalah lembaga bereputasi dalam studi seksualitas manusia, sudah 76 tahun usianya. Kinsey Report abad lalu dirujuk banyak media. April lalu Kinsey menggelar karya Bettina Rheims, seorang fotografer yang sering menampilkan foto sensual. Majalah Playboy hingga Vogue memuat karyanya.

View this post on Instagram

A post shared by Bettina Rheims (@bettinarheims)

Baiklah, saya tak mengutip isi artikel Kompas. Saya akan bercerita hal lain. Frekuensi hubungan seksual adalah satu hal, dan kehamilan adalah hal lain. Maka ada candaan, seorang suami yang bekerja di luar negeri, pulang dua tahun sekali, selalu kembali ke tempat tugas dengan meninggalkan istri sudah positif.

Seksualitas pasangan milenial

Juga pernah terjadi, seorang perempuan yang belum menikah kemudian hamil padahal hubungan cuma sekali. Tak ada yang aneh, karena bukan cowoknya yang hamil. Lagi pula mereka sudah dewasa dan mandiri. Bisa saling bertanggung jawab demi si janin karena berlandaskan cinta.

Seksualitas pasangan milenial

Kapan itu, awal pandemi, saya menahan tawa di teras saat mendengar seorang ibu ngobrol dengan penjual ayam bumbu yang disebutnya tetap ayu sebagai janda beranak tiga, yang tertua sudah di SMP.

Si Teteh memang blak-blakan, sehingga ketika ditanya kenapa belakangan sering kesiangan, dia menjawab santai, “Namanya juga pengantin baru, Bu. Dapat bujangan muda. Pagi mau belanja ke pasar, daster saya ditarik. Makanya saya cepet isi, hihihi….”

Masa lampau banget, saya dan adik saya punya langganan gudeg, yang juga menjual ayam dan burung dara goreng, di Malioboro, Yogya. Kesan kami sama: Si Mbakyu selalu hamil. Adik saya berbisik, “Padahal malam sampai pagi dia jualan. Lalu di rumah setelah istirahat pasti belanja dan masak.”

Moral cerita: kami sebagai mahasiswa hijau tak paham urusan dapur penjual gudeg.

Seks. Ya prokreasi ya rekreasi. Ada pendapat, ketika pilihan cara bersenang-senang makin banyak, seks sebagai rekreasi malah turun. Kepuasan dan sekaligus kepenatan sudah didapat dari hobi, kehidupan sosial, karier, dan lainnya.

Tetapi jika menyangkut frekuensi, teman saya dahulu, masih awal 30-an, pernah menjadi korban fitnah canda ketika mengurus visa di sebuah kedubes asing di Jakarta, lalu mengisi formulir dan untuk pertanyaan “sex” dia tulis “twice a week“.

Tentu itu hoaks. Hasil mengarang bebas. Pertanyaan seks hanya butuh centang pria atau wanita. Namun sampai kini banyak yang percaya teman saya menjawab begitu. Ketika empat tahun lalu saya ingatkan, dia mengumpat dalam tawa.

Tinggalkan Balasan