Era kolonial sering diwarnai gambar eksotis, apalagi dengan kacamata hari ini, kecuali gambar itu menunjukan derita kaum terjajah. Saya tak tahu apakah ada foto atau ilustrasi kuli kontrak perkebunan sedang dihukum sesah, seperti dikisahkan Mochtar Lubis dalam Kuli Kontrak (¬ Kutukata).
Nah, dari sisi eksotis, yakni mooi Indie, atau Hindia Belanda nan permai, saya temukan sisa kartu ucapan berukuran kecil, 7,5 cm x 10, cm. Setiap set dahulu berisi sepuluh lembar. Set ini menemani kartu yang ini dan itu.
Kartu keluaran rumah desain Leboye ini saya dapatkan sekitar sepuluh tahun silam di galeri dan kedai dia.lo.gue, Kemang, Jaksel, milik Hermawan Tanzil, si juragan rumah desain itu.
Dalam kartu ada foto dan ilustrasi. Mesdjid adalah masjid di Sumbar, dari kotak korek api batang, dari tahun sekitar 1910. Lalu Gadis Penjual Buah, di Bogor, Jabar, juga dari tahun yang sama.
Adapun Rijstafel, adalah label koper Hotel Des Indes, dari tahun 1950, saat Indonesia sudah merdeka, dan pasti saat itu kaum terpelajar masih sering Hollands spreken, selalu bilang Ik dan jij.
Sedangkan kartu Mooi Indie saya menduga itu desain baru bergaya vintage, untuk judul serial kartu. Tipografi teks “a voyage the through archipelago”, sejauh saya tahu, belum ada pada era kolonial.
Lalu kenapa kartu ini belum habis? Kartu kecil biasanya untuk penyerta bingkisan. Saya tak pernah kasih hadiah lagi agar hemat. Kalaupun memberi hadiah, saya memesankan secara daring, langsung menjadi urusan penjual dan kurir. Selain itu ya karena rasa éman, atau sayang. Maaf.
Pada abad lalu, sebelum membuat kartu sendiri, saya menyukai kartu ucapan polos tanpa tema dari Indoart, berlogo wayang dalam lingkaran, pemegang lisensi Hallmark di Indonesia. Saya tak tahu apakah ada hubungannya dengan Hallmark Indonesia.