Jawaban terhadap judul itu gampang: sejak kita mengenal buah impor, misalnya apel, jeruk, dan pir, padahal 1980-an. Ada stiker pada buah. Kini kita terbiasa dengan buah berstiker. Buah lokal juga begitu.
Saya waktu itu kecil pernah mencoreti pisang pada kulitnya. Buat apa? Supaya punya merek. Saya terkesan oleh iklan pisang Chiquita dan jeruk Jaffa di majalah luar negeri. Buah-buah itu berstiker. Tampaknya keren, modern.
Padahal jika menyangkut merek makanan, dalam kehidupan kita logo jenama sudah lama diterakan pada telur asin, kue bulan, dan bakpao. Peneraannya dengan stempel.
Bagi saya stempel Cina dari karet dan kayu itu lebih menarik. Arkais dan eksotis. Dahulu ketika aturan belum ketat, produsen bakpao pakai tinta apa ya supaya aman untuk makanan? Krayon untuk anak saja non-toxic apalagi stempel penganan.
Tiongkok memang akrab dengan stempel sejak dahulu. Maka cincin raja pun sekaligus stempel. Stempel pada zaman kuno dahulu diakrabi oleh masyarakat uang sudah mengenal kertas dan sutra.
Lalu kenapa etiket untuk buah lokal seperti terlambat muncul?
Saya menduga ini berhubungan dengan kemajuannya cetak, terutama cetak digital. Dahulu pilihannya hanya stiker sablon kertas dan offset. Ada jumlah minimum yang harus dipatuhi, tidak bisa cuma satu kertas A3, apalagi pemotongan stiker berbentuk oval itu merepotkan.
Kini pada era cetak digital, semua hal menjadi mudah. Memesan sekumpulan stiker kecil di atas selembar kertas A3 bukan soal. Mesin pons, untuk memotong stiker, dimiliki oleh setiap kios cetak digital.
Lalu kembali ke soal stiker buah, terutama mangga, yang saya jadikan contoh, ada hal menarik. Tulisannya bukan “mango” melainkan “manggo”. Apapun penulisannya cara membacanya sama.
¬ Gambar iklan pisang dan jeruk Jaffa: Chiquita.com dan worldofjudaica.fr
2 Comments
Jika melihat buah berstempel, pikiran saya masih selalu menganggap itu buah impor yang pasti mahal. Padahal, seperti disebut Paman, buah lokal pun kini berstiker.
Itulah persepsi 😁