Mas Deni, penjual ayam yang sudah dibumbui, pembeli tinggal menggoreng, tak pernah meneriakkan dagangannya sambil berkeliling dengan motornya.
Jadi, pembeli harus menelpon dulu untuk memesan. Dia sih biasanya nongkrong di dekat kali dalam kompleks, di sana teduh, ada pepohonan dan penjual lain yang ngadem. Kaum ibu malas kalau harus berdaster mendatangi dia. Tetapi kalau para pelanggan menelepon kesiangan, ayam bumbu kuning dalam panci enamel blirik itu sudah menjadi milik pembeli lain, tinggal diantarkan.
Era ponsel dengan VoIP seperti WhatsApp Call menjadikan urusan bisnis lebih murah. Sebelumnya ketika semua panggilan melalui telepon biasa, pulsa dan tagihan lebih boros. Kini bahkan dalam paket kuota internet sudah ada biaya telepon dan SMS gratis.
Pada awal 2000-an, VoIP sempat dianggap ilegal oleh pemerintah, kecuali oleh perusahaan yang memiliki konsesi untuk layanan itu (¬ Liputan6). Konsumen penggunaan VoIP dianggap mencuri pulsa. Aneh, kan?
Jika itu terjadi saat Twitter sudah ada, Menkominfo akan jadi bulan-bulanan. Padahal jika menyangkut UU, masalahnya bukan pada dia pribadi maupun ex-officio melainkan pemerintah dan DPR. Sila lihat arsip Hukumonline.com tahun 2000: orang yang bikin jaringan VoIP ditangkap.
Mas Deni dan pelanggan ayam bumbu kuningnya kini beruntung, tak menghadapi jerat hukum karena tafsir picik tolol oleh aparat negara terhadap hukum.
2 Comments
Fokus ke alinea terakhir, khususnya pada bagian akhir….
Lha ya itu. Teknologi selalu mendahului asumsi pembuat aturan. Pihak yang dirugikan oleh teknologi baru mencari celah untuk menyelamatkan diri. Ingat kontroversi ojek daring versus ojek pangkalan? Grab, Gocar, dlsb versus taksi gaya lama?
Nanti penulis maupun penerjemah melawan robot
Eh sudah ding kayaknya.
Abad lalu buruh pracetak dan percetakan koran Times of London mogok lama karena melawan komputerisasi di surat kabar.