Foto arsip itu mengusik saya. Karena sudut bidik dari atas, saya tak tahu rombongan bersedikit orang itu melalui jalan setapak di tengah hutan ataukah menyibak belukar dengan sekian ragam penghalang langkah, sejak lumpur, akar melintang, hingga aneka binatang melata ditambah lintah.
Paparan tentang belukar itu hanya imajinasi saya sebagai orang kota karena saya tak paham hutan. Saya bukan penyusup rimba, bukan penyusur gua, bukan pendaki gunung. Alam liar adalah keasingan bagi saya. Begitu asingnya sehingga saya membayangkan alangkah berani dan tabah anak dalam lingkaran nomor dua dari kanan.
Tetapi bukannya semua orang Punan pernah menjadi anak kecil? Mereka lahir, tumbuh, berdiam, hingga hidupnya selesai di dalam rimba. Hutan rapat adalah pemberi kehidupan, dalam rengkuhannya orang Punan masih mengenal bahasa ranting, tinggal ambil apa saja seperlunya, namun ketika hutan kian dan terus menyempit setelah digerus perkebunan, makanan pun kian menipis. Daging binatang buruan makin sulit mereka dapatkan. Belum tentu sekali sepekan.
Kompas melaporkan beberapa sisi kehidupan dalam alam Kalimantan, termasuk ihwal orang Punan yang bukan orang Dayak, namun sayang karena berupaya konten berbayar maka tak semua orang dapat mengaksesnya.