Ada dua hal yang mulanya dianggap membingungkan, yakni istilah premium. Untuk bensin berarti BBM murah. Untuk produk bukan BBM berarti barang dan jasa yang mahal.
Saya tak tahu kenapa Pertamina pada 1970-an dahulu menamakan BBM-nya yang beroktan 88 itu Premium, lalu yang beroktan 98 berjenama Super. Dalam benak publik, premium adalah murah.
Kemudian komunikasi pemasaran aneka produk, dan berita di media, akhirnya menyadarkan khalayak bahwa arti yang benar dari premium adalah mahal, produk kelas atas, dianggap eksklusif.
Memang sih sejak dulu, saat Indonesia masih anggota OPEC, bensin Premium itu mahal di angka subsidinya. Lalu ada varian Pertalite (oktan 90), Pertamax (92), Pertamax Plus (95; sudah raib), dan Pertamax Turbo (98). Soal subsidi BBM selalu kontroversial, kabar terbaru pun tak beranjak dari isu lama (¬ Bisnis Indonesia)
Kembali ke bahasa, apakah super premium, seperti varian merek sigaret kretek tangan, tak berlebihan? Ada, boleh, bisa, tetapi ditulis serangkai: superpremium.
Ada lagi nama BBM yang membingungkan: Solar. Bisa dimaklumi karena dahulu belum ada isu pemanfaatan sinar matahari. Kini jika bicara solar sebagai sumber setrum baterai berarti tak membahas mobil.
¬ Bukan posting berbayar maupun titipan
3 Comments
Pemiliknya (atau manajernya, atau siapalah) tidak tahu bedanya dua kata ditulis serangkai atau dipisah karena bukan orang media atau mantan orang media. 😁
Husss. Putera Sampoerna, yang menandatangani bungkus sigaret ini, lama hidup di LN, istrinya Sino-American, dia lebih sering berbahasa Inggris. Anak-anaknya juga.
🙏