Sejak piring itu berisi penuh hingga tinggal sedikit, yang paling menonjol adalah kue lapis basah pelangi. Oh, ingat pelangi ingat LGBT dan LGBTQ+. Itulah persepsi yang terjadi sekarang. Tetapi di sini saya tak membahas riwayat simbol pelangi untuk LGBT.
Ternyata, dalam perhelatan siang tadi, kue lapis itu kurang laku, sejak awal tetap dua potong, padahal rasanya enak. Banyak tetamu lebih memilih lemper, tahu bakso, roti sus, dan lainnya di piring itu. Jadi bukan lantaran alergi terhadap warna mejikuhibiniu — merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, kata guru SD saat menerangkan spektrum.
Lalu bagaimana sikap kita terhadap warna pelangi?
Warna spektral bianglala dikenal sejak awal kehidupan manusia, sebagai keluwung dalam bentang alam. Yang pasti warna apapun bisa menjadi simbol apa saja oleh siapa saja. Jika hitam adalah warna setani maka bisa saja ada yang tak suka hitam karena alasan itu. Sama seperti orang tak suka warna pelangi karena identik dengan LGBT, lalu setiap kali busur warna menggores langit maka orang yang tak suka akan memejamkan mata.
Dari sisi warna, pelangi sebagai simbol LGBT punya sekian versi rumus (¬ lihat SchemeColor). Sangat teknis, hanya berlaku untuk layar komputer dan paduan tinta cetak serta pewarna produk industrial, sejak bodi ponsel sampai mobil.
Sebelum ramai kontroversi terhadap isu LGBT, mata publik sudah terbiasa dengan warna pelangi tiruan pada aneka produk. Untuk sampul rekaman musik, ada banyak dan saya hanya mencontohkan Pink Floyd, Coldplay, Radiohead, dan BTS.
Lalu sikap kita terhadap LGBT? Saya sejauh ini menenggang atau menoleransi. Menerima mereka sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Mereka punya hak-hak sipil seperti warga lainnya.
Memang pandangan saya bisa tak utuh, karena dalam beberapa hal saya masih konservatif, misalnya masih mengikuti definisi perkawinan seperti Pasal 1 UU Perkawinan: hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Bahwa ada pasangan hidup bersama tanpa menikah, itu hak mereka dan urusan mereka apapun orientasi seksual dan status gender mereka.
Kalau mendukung LGBT? Sejauh ini tidak atau belum. Artinya saya tak menolak seorang legislator, kepala daerah, jabatan publik yang lebih tinggi, atau apapun pokoknya digaji negara, karena orang yang bersangkutan adalah LGBT. Intinya saya tak peduli.
Bagi saya lebih utama mereka itu bisa bekerja atau tidak, jujur atau culas licik. Hal sama berlaku untuk pengurus koperasi hingga direksi dan dewan komisaris kompeni partikelir maupun BUMN, serta lembaga swasta umum dari kursus setir mobil sampai perguruan tinggi.
Kalau saya mendukung siapapun untuk jabatan apapun asalkan mereka LGBT, itu berarti saya pendukung LGBT.