“Gimana itu Pak soal Profesor Karna Wijaya yang dapat sanksi dari Rektor UGM Profesor Ova Emilia?” tanya Bambang Nyamuk.
“Lha ya itu wewenang rektor setelah dapat rekomendasi dari Dewan Kehormatan Universitas. Jadi berita sudah Agustus, padahal keputusan rektor 17 Juli lalu, berdasarkan rekomendasi DKU 17 Juni. Ova dilantik akhir Mei. Karna ngomentarin penganiayaan terhadap Ade Armando kan April, ” jawab Kamso.
“Panjenengan kayak orang humas, Pak.”
“Lha situ tadi nanya ya saya jawab.”
“Lha tapi Profesor Karna kan cuma gojègan, guyon?”
“Menurut dia sendiri gitu. Tapi menurut orang lain kan belum tentu.”
“Lha kan dia usah minta maaf?”
“Iya. Tapi buat UGM itu belum cukup. Yah kayak kasus lain, minta maaf kan belum tentu persoalannya selesai bagi pihak lain. Kayak alumnus UGM yang lagi kena perkara meme arca Buddha, bukan stupa, kan juga udah minta maaf.”
“Jadi kalo cuma ngomentarin kayak membenarkan bahkan mendukung penganiayaan terhadap Ade berarti nyebarin kebencian bahkan intoleran dan radikal?”
“Karna sih udah mbantah dirinya radikal. Nggak tau kita gimana jejak digitalnya. DKU dan rektor yang tahu.”
“Jadi bukan karena fobia lalu ada sanksi empat tingkat buat Profesor Karna, Pak?”
“Fobia terhadap apa? Agama? Kalo liat latar Ova kan dia putrinya Pak Zaini Dahlan, seorang cendekiawan muslim, ahli agama, penerjemah Al-Qur’an, pernah jadi rektor UII dan IAIN Sunan Kalijaga.”
“Profesor Karna bisa melawan keputusan rektor nggak?”
“Oh ke PTUN? Nggak tau. Coba tanya ahli hukum. Tetangga situ banyak yang S.H. kan?”