Citayam Style dan kecongkakan kita

SCBD Nation tak sendirian. Hampir setiap kelompok sosial punya posisi itu. Kita bagian dari mereka.

▒ Lama baca 2 menit

SCBD Nation dan kecongkakan kita

Riuh celoteh di media sosial ihwal Citayam Fashion Week, menuntun ingatan ke masa saya bekerja di Tanahabang, Jakpus, 2015-2019, saat saya kerap naik KRL Commuter Line.

Saya punya dua ingatan kuat tentang Citayam. Pertama, karena beberapa kali sulit keluar dari gerbong KRL Tanahabang-Bogor di Stasiun Cawang, Jaktim, suatu malam pada kereta yang saya perkirakan terakhir, saya berbulat niat hanya akan turun di stasiun yang memungkinkan saya keluar dari gerbong tanpa berdesakan, jika perlu tanpa bersenggolan. Ternyata bisa.

Saya peroleh kesempatan itu setelah kereta sampai Stasiun Citayam, di perbatasan Kota Depok dan Kabupaten Bogor, Jabar. Saya turun. Lalu naik lagi. Stasiunnya sepi. Di luar stasiun gelap. Saya putuskan bablas Bogor, lalu saya menelpon adik saya, berencana menginap. Setibanya di Bogor ada kereta terakhir entah ke Pasar Minggu atau mana, sehingga malam itu singkat kata saya bisa sampai Pondokmelati, Bekasi.

Oh begitu Citayam, saya membatin. Nah, ingatan kedua tentang sejawat saya. Dia warga Citayam. Saya menjulukinya jubir Front Citayam Merdeka. Padahal, selalu terbukti kalau kami pulang bareng dari Stasiun Tanahabang, saya baru sampai Terminal Pinangranti, Jalan Raya Pondokgede, Jaktim, dia sudah tiba di rumah. Setidaknya demikian pengakuannya tanpa bukti berbagi lokasi.

Jika benar, berarti saya warga daerah tertinggal di Greater Jakarta, karena cara tercepat hanya via jalan tol. Tak ada jaringan transportasi publik yang andal. Sayalah yang patut diledek.

https://twitter.com/anima/status/1546039475952033793?t=rKy6meYFCFdPkdeV9IBmqA&s=19

Sudah biasa dalam kehidupan, orang akan mengejek kawan yang bisa diajak bercanda jika si target tinggal di tempat jauh apalagi terra incognita yang belum terambah Google Street View. Orang Pondokgede dan Pondokmelati takkan mengejek orang Sentul maupun BSD, atau Danau Bogor Raya, apalagi PIK, kecuali tak tahu diri. Masalahnya bukan proksimitas fisik dari pusat kota Jakarta tetapi sosioekonomi. Saya hanya merenges tatkala teman, yang tinggal Alam Sutera sejak awal kompleks itu jadi, menanya saya apakah tak ada tempat yang lebih buruk dari Pondokgede.

Pada titik tertentu kita merasa lebih tinggi orang lain dalam beberapa hal. Para psikolog dan ahli pendidikan bisa menjelaskan kenapa anak-anak pun bisa congkak memandang anak lain, dari lokasi tempat tinggal hingga ke gaya hidup.

Pada titik tertentu tadi, kita takjub dan mungkin iri bahkan dengki terhadap kaum yang di atas kita. Kita bisa mengejek mereka dengan sinisme berbumbu dendam sosial sambil berharap suatu saat akan setara mereka.

Sebagian dari kita, apalagi saat muda, tak rela jika gaya busana dan gaya lain dikembari orang yang kita anggap di bawah kita. Jangankan mereka memakai produk KW, mereka pakai versi ori pun kita tertawakan.

Kita selalu mengidentifikasi diri sebagai kelas tertentu, sambil berharap tak ditertawakan kelompok di atas kita, yang ingin kita samai itu, namun kita meremehkan gaya kelompok di bawah kita. Sebagian dari kita malas ngopi di kedai yang pengunjungnya, bukan kopinya, sudah “turun kelas”.

Anak-anak Citayam dan sekitarnya itu adalah kita dalam posisi apapun. Pasti ada kelompok sosial remaja di bawah SCBD nation itu, seperti juga ada yang di atasnya.

Keluhan kita tentang area sekitar Stasiun Sudirman yang kotor karena kehadiran anak-anak SCBD hanyalah pelengkap argumen untuk menunjukkan ketidaksukaan sebagian dari kita terhadap mereka.

Masyarakat tanpa kelas hanya dalam utopia. Di negeri komunis gaya lama pun tetap ada kelas, setidaknya kelas pengurus partai dan aparatchik berbeda dari warga umumnya. Di negeri demokratis maju, eh liberal, juga ada ledakan terhadap warga wilayah tertentu.

Ulasan tentang anak Citayam, yang menarik, antara lain di Magdalene.co.

2 Comments

junianto Senin 11 Juli 2022 ~ 17.53 Reply

Apakah ini semacam “sirik tanda tak mampu”?

Pemilik Blog Senin 11 Juli 2022 ~ 20.02 Reply

Rada beda. Yang rewel lebih mampu tapi nggak merasa nyaman dengan apapun yang meniru mereka.

Tinggalkan Balasan