“Cuma segini enam ribu, Mas. Biasanya dua ribu,” kata istri saya. Lalu isi sekantong cabai gila itu saya buka. Isinya tiga belas buah.
“Jangan digado lho. Itu buat masak. Cabe lagi mahal,” katanya.
Saya jawab, “Di pasar induk boleh ambil bebas, gratis, asal makan di tempat, all you can eat.”
Sambil memotreti dengan cahaya seadanya di dapur, kami ngobrol seputar harga pangan. Cabai mahal karena produksi turun akibat hujan, sementara permintaan tetap bahkan akan naik menjelang Iduladha. Harga sekilo telur ayam masih di kisaran Rp29. 000, belum bisa turun lagi, karena harga pakan dan bibit ayam, atau old day chick, sedang naik.
Adapun harga sekilo bawang merah masih tinggi, Rp50.000 ke atas, karena harga di petani masih sekitar Rp35.000, sebelumnya Rp20.000. Penyebabnya hujan salah musim, di sisi lain pada awal tahun harga tak stabil, sehingga petani enggan menanam lagi, karena harga di lapangan Rp8.000, separuh HET pemerintah Rp15.000. Panenan satu hektare ditawar Rp80 juta, padahal modal tanam Rp100 juta.
Saat ini permintaan bawang merah tinggi karena ada pelonggaran pandemi. Orang menggelar hajat, pariwisata hidup lagi, kedai ramai. Begitu kata pejabat pertanian Brebes, sentra berambang di Jateng.
Istri saya terus bekerja, meracik bumbu dan lainnya. Dia sudah kebal, suaminya kalau sedang iseng, misalnya memotreti barang tak penting, bisa ngoceh seperti radio. Mungkin isi kepalanya berdesakan.
Lalu dari cabai, ocehan bisa jauh ke rantai pangan mondial akibat perang Rusia-Ukraina. Akhirnya foto selesai. Suami seperti lupa dengan topik barusan, karena langsung membuat kopi tubruk tanpa gula.
3 Comments
Bisa ngoceh seperti radio, dan seneng nggado lombok?
Kalo habis nggadho Lombok ndak bisa ngoceh
😂