Tadi seturun dari ojek yang menjemputnya di sekolah, Cah Ayu kelas satu SD, cucu tetangga, itu bilang, “Pak Tyo, aku dapat piala!” Saya pun memberi selamat dan dan tepuk tangan. Piala itu dari guru karena dia mewarnai gambar dengan bagus.
Apapun bentuknya, dan berapapun harganya, piala adalah penghargaan, yang didapatkan dengan perjuangan. Maka tak ada undian berhadiah piala. Padahal harga blender dan rice cooker bisa lebih mahal daripada piala, bukan?
Oh, saya teringat ketika putri sulung saya, ketika masih TK, sepulang dari rumah Pak RT karena saya ajak, bertanya, “Pak, kenapa ya rumah kita nggak ada piala?”
Di rumah Pak RT dia melihat aneka trofi. Ya, itu trofi milik RT dari bermacam lomba. Kepada anak saya katakan, “Kita bisa sih beli piala. Tapi itu nggak keren, soalnya piala harus didapat dengan lomba atau tanding.”
Kalau misalnya saya menuruti keinginannya agar di rumah ada piala, lalu membeli, lha apa bedanya saya dengan orang yang punya piala dan penghargaan lain dengan membayar, baik karena ditawari panitia maupun atas keinginan si calon pemilik piala?
Saya pernah mendengar, ada sejumlah ibu minta panitia lomba untuk anak-anak — saya lupa lomba apa — menambah piala, dengan menambah kategori juara. Biaya pembelian piala ditanggung para pengusul. Kata mereka demi kebahagiaan anak, karena bisa mendapatkan piala. Sakndilalah panitia menyanggupi.
Saya membatin, kasihan anak-anak pemenang kategori baru itu karena menjadi juara semu. Saya teringat gala dinner abad lalu, si calon penerima penghargaan harus membeli meja untuk empat orang dan membayar entah apa saja. Begitu pula anak buah kepala daerah yang ingin menyuap tim penilai sesuatu dari pusat. Jika status hasil audit BPK juga semacam piala, dan bisa ditawar dengan imbalan, oh itu sama saja beli ijazah sarjana tanpa bikin skripsi, tanpa diuji.
Jangan-jangan pemilik trofi dan penghargaan dan segala jenis capaian semu itu seperti kata orang-orang tua Jawa dulu: olèh piala. Beroleh piala, namun piala (dilafalkan pi-yo-lo) dalam bahasa Jawa adalah keburukan, atau tercemar sendiri karena perilaku buruk, dari kata dasar “ala“, artinya jelek.
Baiklah, nanti kalau punya duit superbanyak saya akan mengadakan perebutan piala. Ada piala berisi cek dan ponsel termahal lalu saya lempar ke kerumunan seperti pengantin melemparkan buket.
Jika si A berhasil menangkap piala, tetapi kemudian si B mendorongnya dan merebut piala itu, lalu berantai dari perebut ke perebut, pemenangnya adalah si Z — atau malah si A.
Pemenangnya disebut “telah berhasil merebut hadiah”. Dengan perjuangan. Penuh keokolan. Bukan membeli. Tanpa diundi.
2 Comments
Di rumah saya juga enggak ada piala, Paman. Jadi, dalam hal ini, kita sama. 😁
BTW kalau nanti suatu saat Paman jadi menggelar perebutan piala, saya akan ikut. Dengan begitu, akan ada peluang rumah saya bakal dihiasi satu piala.
Semoga