Will Smith tampar Chris Rock, dan kisah penguasa panggung

Tersenyum kecut adalah solusi. Terutama bagi korban. Tapi si bengis kadang tak puas. Jika perlu memprovokasi. Psikolog bisa menjelaskan.

▒ Lama baca 2 menit

Insiden Will Smith tampar Chris Rock dan penguasa panggung

Will Smith sudah minta maaf telah menampar Chris Rock dalam acara Oscar di Amerika. Tapi ingatanku segera ke MC dan sejenisnya yang bisa menjadi tiran di pentas dengan mencela dan mempermalukan orang.

Dulu banget ketika aku di bekerja di penerbitan, aku minta teman di bagian promosi membuat daftar MC untuk acara kami. Aku mencoret beberapa nama karena setahuku mereka suka mempermalukan orang. Aku tak ingin tetamuku dicela oleh satu-satunya orang, dan mitra tampilnya, yang sedang memegang mikrofon di pentas.

Aku tak suka dengan MC yang setelah seseorang yang dipanggil naik pentas menjawab tempat domisili lalu diejek, “Berapa kali ganti bus, Mas? Pulang dari sini entar masih ada bus?”

Si terserang tampak kesal, tapi sebagian hadirin tertawa. Mirip situasi dalam pergaulan, orang tertawa jika Raja Pencela yang dianggap lucu menyangkrai seseorang karena bukan dirinya yang kena, bahkan jika perlu ikut menyerang.

Setiap orang jenaka pintar meledek orang, tapi kadang ofensif lebay. Acara pencelaan dianggap lucu. Apalagi jika si pencela dalam posisi memimpin, sebagai pemuka kelompok. Ada kisah cewek yang enggan datang ke suatu acara yang dihadiri Miss Kejam. Apapun yang dikenakan si cewek, berikut gaya riasnya, pasti akan dicela lalu anggota geng kejam tertawa. Bayangkan jika gaya macam itu dibawa ke pentas.

Pernah aku lihat sepasang MC yang mencela fisik tamu yang diminta naik pentas padahal belum kenal. Saat naik seorang kribo megar, MC bilang, “Wah bawa sarang burung, nih!” Lalu ketika yang naik orang berbadan besar dan sangat lebar, “Awas! Panggung bakal roboh!”

Lucu adalah menghina? Tergantung si sasaran apakah dapat menerima dan lebih penting ketika dia membalas telak, si Jago Ngenyek nggak boleh marah. Celakanya ada saja orang yang mengipasi, “Masa sih digituin si penurut diem aja?”

Masing-masing dari kita pernah, bahkan mungkin masih, menjadi pencela ofensif, yang memulai duluan, bukan karena defensif, dengan tujuan utama membuat orang lain tertawa. Jujur, aku juga pernah. Aku si sini minta maaf kepada yang masih sakit hati.

Jago Ngenyek Ngehek tak hanya muncul dalam diri MC saat bertugas sehingga berkuasa di atas pentas karena memegang mikrofon. Si Jago bisa menjelma dalam diri guru dan dosen saat mengajar. Seisi kelas tertawa sambil bersyukur bukan dirinya yang jadi korban, juga berharap nggak bakalan kena. Geli sekaligus tertekan lalu larut dalam tawa bersama adalah katup pelepas.

Situasinya mirip adegan film saat bos gangster melucu dengan merendahkan orang lain yang berposisi lebih rendah. Semua bawahan tertawa. Pejabat, termasuk jenderal, juga ada yang begitu, atas nama humor. Tapi tak ada yang berani membalas apalagi menempeleng.

Tersenyum kecut adalah solusi agar tak terjadi konflik terbuka. Terutama bagi korban. Tapi si bengis kadang tak puas. Jika perlu memprovokasi. Psikolog bisa menjelaskan.

¬ Foto: Reuters

4 Comments

junianto Selasa 29 Maret 2022 ~ 17.15 Reply

Layak tampar karena menjadikan perempuan sakit sebagai bahan lelucon.

BTW media online mencoba mendulang vistors lewat konten film lawas GI Jane, ini salah satu contoh :
https://hot.detik.com/movie/d-6004261/lihat-lagi-gi-jane-film-yang-jadi-lelucon-chris-rock-untuk-istri-will-smith

Pemilik Blog Selasa 29 Maret 2022 ~ 17.59 Reply

Kemampleng.
Saya dulu lihat GI Jane, lihat si nona menggunduli kepala sendiri

Sandalian Selasa 29 Maret 2022 ~ 10.16 Reply

Semoga kita semua bisa belajar untuk melucu tanpa harus mengenyek. Bukan hanya belajar melucu ding, pokoknya meninggalkan sifat suka mengenyek gitu.

Pemilik Blog Selasa 29 Maret 2022 ~ 11.20 Reply

Betul sekali dan berkali-kali. Hidup cuma sekali kok buat menghina orang lain. 🙏

Tinggalkan Balasan