Perempuan jarikan di sawah hanya ada dalam nostalgia di benak saya, dalam ilustrasi buku yang lebih tua dari saya, dan dalam lukisan di kedai D’7uan, rest area KM 42 jalan tol Cikampek-Jakarta, yang saya foto setelah tahun baru 2016.
Sebenarnya perubahan bukan hanya karena regenerasi orang yang bekerja di sawah dan pergeseran gaya busana ke bentuk yang lebih praktis, misalnya celana panjang, tetapi juga norma kepatutan berbusana di kalangan tertentu yang cenderung lebih rapat.
Kini di pasar pun saya jarang melihat perempuan dengan rok selutut. Lebih banyak yang berok panjang maupun berpantalon. Ada juga yang mengenakan celana panjang olahraga.
4 Comments
Sudah lama nggak lewat persawahan, nggak tahu lagi tentang perempuan jarikan.
Kalau di kota, setidaknya di lingkungan saya, sudah jarang banget perempuan jarikan, pun yang sepuh.
Dahulu kala tentu banyak Termasuk budhe saya (kakaknya ayah saya) semasa hidup, yang rumahnya tak jauh dari rumah orang tua saya, dan tiap hari saya datang ke sana.
Budhe saya dulu selalu jarikan di luar rumah, kecuali saat bekerja karena dia perawat di RSAL Jakarta. Naik bus malam Jakarta-Salatiga PP juga jarikan dan berkebaya dengan kutu baru.
Saat saya kuliah ada seorang ibu di bagian pengajaran yang selalu jarikan. Kalau tak salah namanya Bu Budi.
Saat saya KKN tiga bulan di Kutoarjo, perempuan bekerja di sawah dengan jarik selutut.
Ketika saya bocah sampai SMA, hampir semua bakul gendongan berjualan dengan memakai jarik. Ada yang jalan kaki jauh. Tentu merepotkan. Kalau sekarang ya tidak praktis.
Tapi pada awal 2000-an saya masih bersua Mbakyu Jamu Gendong yang jarikan. Kayak apa capeknya.
Kalau untuk seremoni dan pemasaran, Mbakyu jamu di hotel ya jarikan. Sampai sekarang.
Termasuk Mbakyu jamu di Hamzah Batik aka Mirota Batik.
Lha yes to