Koran kertas memuat berita kemarin, bahkan ketika disela hari libur sehingga koran tak terbit maka edisi terbaru memuat peristiwa sebelum libur. Jika menyangkut berita presiden dengan foto, atau hanya foto berita, di manakah penempatannya? Bisa di halaman depan, bisa di halaman dalam. Sesuka pertimbangan redaksilah.
Intinya, berita kepresidenan tidak harus di halaman pertama. Bahkan ketika dimuat di halaman pertama pun tidak harus menjadi berita utama (headline).
Misalnya pun menjadi berita utama, dengan penempatan di kanan atas, karena mata pembaca cenderung melihat sisi kanan*, ruang di sebelah kaveling berita presiden bisa diisi foto berita besar, berupa pemancing (teaser), yang tak ada hubungannya dengan isu kepresidenan. Lihat contoh di bawah ini. Dari sisi komposisi itu pas.
Dalam edisi yang memuat jawaban Jokowi soal periode jabatan kepresidenan itu, berita foto seremonial dia dan Menkeu Sri Mulyani mengisi SPT ada di halaman empat — lihat foto di atas paragraf pertama posting ini. Berita seremonial, sudah muncul di media sosial, sehari sebelumnya, cukup di dalam. Buat ganjal.
Saya ngomongin apa sih? Kebebasan pers, tanpa menutup kekecewaan masyarakat terhadap media. Intinya, berita tentang Jokowi tak harus di halaman satu.
Saya belum mendapatkan bukti visual arsip koran dari masa kepresidenan sebelum Jokowi. Seingat saya sih sama, presiden tidak harus jadi berita di depan.
Maka lihatlah, contoh berita foto kepresidenan Kompas yang termuat di halaman dalam.
Berita Jokowi dan Jusuf Kalla ada di halaman 10; edisi hari itu Kompas terbit 16 halaman, dengan berita utama webinar Apeksi dan foto berita pengungsi gempa di Pasaman, Sumbar.
Lihat juga ini. Terbaru, hari ini (Rabu, 9/12/2022), tentang kunjungan kehormatan mantan PM Inggris Tony Blair. Cukup di halaman 3 sebagai berita foto: kapsi menjadi berita ringkas. Fotonya pun pasokan dari Setpres.
Kenapa saya bahas? Ada yang tak beres dalam endapan memori saya, yakni era Soeharto berkuasa. Hampir semua berita kepresidenan ada di halaman depan. Seolah wajib.
Saya pernah mendengar dari beberapa wartawan sepuh, jika koran tak menempatkan Soeharto di depan, “redaksi akan ditelepon”, ditanya kenapa. Belum jelas siapa yang menelepon, Setneg ataukah Deppen.
Tentu kini ada kenyataan yang tidak bisa dibandingkan dengan masa Orba. Dulu koran cetak berjaya, situs berita belum kuat.
Kini setelah sebagian besar berita tampil di laman web, pengurutan muat berita lebih dinamis. Tanpa sticky post, atau siasat tata letak lainnya, berita yang kemudian hadir dalam koran cetak — ya tentang presiden itu — dengan cepat akan tertendang ke bawah. Jika tampilan laman web bukan jenis ora wis-wis (inftinite scrolling), berita kepresidenan akan terdepak.
Hal serupa terjadi jika pembaca memantau berita dari laman indeks harian** pada malam hari, berita kepresidenan pagi jelang siang entah di baris ke berapa. Kalau orang ingin kabar lengkap, sepihak, tentang presiden ya sila buka laman siaran pers Setpres dan akun media sosialnya termasuk YouTube.
Bagaimana jika dulu pada masa Orba internet sudah seperti sekarang? Sayang pengandaian hipotetis, bahkan berupa tanya, dalam sejarah itu tak menarik untuk dijawab.
*) Asumsi yang berlaku di media cetak, terutama dengan aksara yang dibaca dari kiri ke kanan, adalah mata pembaca cenderung berat ke kanan, sehingga majalah menempatkan halaman iklan berbayar di kanan.
**) Cara cepat memantau berita adalah melalui laman indeks harian, misalnya Indeks Detik, Indeks Kompas, dan Indeks Poskota.
4 Comments
Menurut saya, tergantung usia orang medianya, Paman.
Orang media yang tidak pernah merasakan hidup di zaman Soeharto, mana mudheng soal beginian? Termasuk, misalnya, soal pemeriksaan orang media di markas tentara gara2 berita.
Yeah namanya juga sejarah 🙏
Makanya saya heran kenapa ada orang ingin kembali ke zaman Harto. Tapi kemudian paham, mereka nggak merasa dirugikan. Nggak ngalami famili kehilangan pekerjaan karena tidak bersih lingkungan. Nggak ngalami tanaman di sawah dicabuti tentara demi prestasi swasembada pangan. Dan seterusnya.
Konten tentang jurnalistik yang mencerahkan.
Terima kasih. Tapi untuk orang media ini hal biasa kan? 🙏🙈