“Kamu yang namanya Wawan?” tanya saya. Cowok remaja itu menjawab, “Bukan. Saya Abbas.”
Lalu saya tanya bapaknya, yang saya lupa namanya itu, “Lalu Wawan yang mana, Bang?” Dia menyahut, sambil mengarahkan mata ke Abbas, “Abangnya dia.”
Barusan saya ke warung itu dan terjadilah percakapan tadi. Semua orang menyebutnya Warung Wawan. Sejak likuran tahun silam sejak di lokasi lama. Mulanya saya kira itu nama pemilik warung; ternyata nama anaknya. Tapi saya tak tahu mana anaknya yang bernama Wawan. Maka tadi saya bertanya.
Sementara agak geser di depan warung itu ada warung bumbu dan sayur. Orang menyebutnya Warung Mama Ayu, berdasarkan nama putrinya. Sebelum ke Warung Wawan, saya tadi ke Warung Fatma. Saya belum mencari tahu itu nama Bu Empunya Warung atau putrinya, tapi hampir pasti bukan nama Pak Empunya Warung.
Sedangkan toko di arah lain ada Toko Hendri. Itu nama anak pemiliknya. Saya lupa nama si Engkoh yang kemudian saya sebut Oom itu.
Di sebelah rumah saya ada loket inkaso pembayaran listrik, pulsa, sampai BPJS. Namanya Raffa. Itu nama putra bungsunya. Nama ayah dan ibunya tentu saya tahu.
Di sekolah anak-anak saya, semua ibu ortu murid memanggil nama ibu lain berdasarkan nama anak. Misalnya Mama Anu dan Bunda Anu.
Saya sebagai warga baru di kompleks, dulu, saat ikut rapat RT pertama kali disapa Papanya Anu sampai kemudian saya memperkenalkan diri, “Nama saya Antyo, bapaknya Anu, saya orang baru, tinggal di rumah nomor sekian.”
Saat itu putri sulung saya boyong ke tempat baru saat dia berusia empat bulan. Tetangga sudah tahu namanya dan memanggil istri saya Tante Anu sesuai nama panggilannya.
Nama istri mengikuti nama suami itu lazim. Nama orangtua mengikuti nama anak juga jamak. Seperti Ayah Unyil dan Ibu Unyil. Kalau memakai bahasa Arab mungkin Abul dan Ummu dirangkai nama anak pertama — tolong Anda koreksi jika saya salah.
Tetapi di sejumlah sekolah, di banyak kota, nama panggilan anak oleh teman-temannya adalah nama ayahnya. Suatu kali seorang guru malu karena menyapa, “Bapak ini ayahnya Badu, kan?”
Jawab si bapak, “Badu itu nama saya, Bu.”
6 Comments
Tentang Warung Wawan, jangan2 si Wawan yg kakak Abbas itu sudah tak tinggal bersama ortunya, sudah mentas, karena sdh dewasa (namanya kan dipakai sbg nama warung sudah likuran tahun).
BTW kadang ada yang memanggil Pak Lies (gara2 nama istri sy lbh kondang).😬🙈
Mungkin begitu, si Wawan sudah hidup sendiri.
Soal nama suami “ikut” istri, itu menarik. Saya punya peluang itu 🤣
Tapi sesungguhnya nama sy memang “aneh”2. Abad lalu, sy dpt nama panggilan Dodo (dibaca Dhodho) dari kawan SMA (dan banyak orang manggil dgn nama itu sampai sekarang).
Kata kawan yg ngasih nama sy Dodo kala itu, krn saya kayak tokoh dalam film kartun Dodo. Lha sy sendiri belum pernah liat film itu. 🙈
Yang saya tahu belakangan adalah judul lagu Dodo dari Genesis, Dodo yang “too big to fly…”.
Lha dari mana datangnya nama Dodo? 😇
Kalau burung Dodo pernah dengar?
lha itu tadi, dari kawan SMA.
lha itu tadi, setelah sy dengar lirik lagu Dodo dari Genesis, abad lalu itu sy searching dpt burung Dodo.
Potongan lengkap liriknya : too big to fly, Dodo ugly so Dodo must die.
🙈
Kalau Paman tdk akrab dgn lagu ini, pasti gara2 ini Genesis yang tanpa PG.
Wong konservatif tidak mau perubahan. Cenderung suka versi lawas sebuah band, padahal pemain sudah bosan dan ingin degenerasi pendengar untuk memperlebar pasar. Maka ketika Yes bikin Owner the Lonely Heart, orangnya konservatif menangis 🙈