Membaca indeks berita pagi, saya tertarik kabar berita menyedihkan: suami istri tewas tersambar petir. Lalu saya membatin, apakah para orangtua zaman sekarang masih mengingatkan anak-anaknya tentang bahaya petir?
Salah satu orangtua itu adalah saya. Jarang secara khusus mengingatkan. Mungkin karena mereka jarang melintasi persawahan dengan berjalan kaki. Mereka pun jarang memotong diagonal lapangan saat mendung — tepatnya lapangan yang tak dikelilingi gedung tinggi, tapi apakah sekarang masih ada lapangan macam itu?
Dulu saat saya masih kuliah, lalu tinggal tiga bulan di desa, setiap pulang dari kecamatan saat mendung bahkan gerimis dan melintasi jalan sepanjang tiga ratus meter diapit sawah luas, saya cemas, bergegas bahkan berlari, mumpung petir belum melihat saya.
Kisah petir semasa saya bocah, di Salatiga, yang saya ingat antara lain dua ini. Pertama: seorang pemuda tewas tersambar petir saat berteduh di teras kuncung GPIB Taman Sari. Petir jatuh di ujung pagar pinggir jalan lalu meniti cepat ke arah pemuda itu.
Kedua: beberapa pemain sepakbola secara bersamaan tewas tersambar petir saat bertanding di Lapangan Ngebul di bawah gerimis.
4 Comments
Ngeri ya, Paman.
Sejak dulu saya ada beberapa kali baca berita ttg peristiwa sejenis ini.
Kuasa alam.
Rumah bagus atapnya rusak kena petir juga ada. Padahal pasti ada penangkal petirnya ya. Saya kenal pemiliknya, dosen UI.
Penangkal petir.
Saat remaja, saya membatin “keren” tiap kali melihat rumah berpenangkal petir.
Dulu memang jarang 😇