Belakangan saya agak sering ke bengkel sepeda. Ada saja masalahnya. Tapi ada yang menarik, saya selalu bersua orang-orang yang sama padahal sepeda mereka tidak rewel, bahkan sebagian tak membawa sepeda, kalau tidak jalan kaki ya bawa motor. Mereka jelas penyuka kereta angin. Sebagian sudah pensiunan. Orang-orang yang berlimpah waktu luang bahkan siang hari.
Bengkel sebagai tempat kongko. Biasanya bengkel kecil rumahan, termasuk bengkel motor yang bukan sejenis AHASS. Seakan-akan bengkel menjadi pengganti kedai kopi. Apalagi jika di sebelahnya ada penjual kopi sasetan dan rokok.
Bengkel yang menjadi pos gardu ngariung tanpa meronda. Kemunculan seorang peserta tetap selalu dinantikan, sehingga disambut sapaan, “Akhirnya nongol juga.”
Beberapa kali kunjungan saya ke bengkel rupanya dikenali. Seseorang mengajak saya ikut gowes pagi, “Buat gocapan aja.” Saya tak paham maksudnya. Dari Google saya tahu gocapan adalah singkatan gowes cari sarapan.
Dalam kunjungan berikutnya muncul lagi ajakan. Saya ditanya bersepeda ke mana saja, kapan saja, siapa saja temannya. Saya jawab selalu sendiri, berangkat kalau niat, dan hanya pergi dekat.
Pada kunjungan terakhir ke bengkel makin banyak pertanyaan. Saya kikuk menjawabnya, sampai seseorang bertopi yang sedari tadi diam menjelaskan, “Bapak ini selalu sendirian. Gowesnya tiap malem, pake lampu.”
Saya heran. Saya tak setiap hari bersepeda. Orang yang mengajak saya menanya orang itu, “Kok elu tau?” Dia jawab sambil menatap saya, “Kita kan tetanggaan ya, Pak. ”
Masker dia turunkan, saya pun mengenali pemuda itu, anak tetangga, yang sering bersepeda balap.
Komunitas. Kegiatan komunal. Kongko rutin. Tampaknya sosiabilitas saya rendah. Saya teringat pertanyaan penjual kelapa muda delapan tahun silam, “Pak, Njenengan itu apa ndak punya teman? Jalan kaki sering bukan pagi, selalu sendiri. Orang-orang yang mampir minum ke sini kan selalu jalan rombongan.”
Bukan pertanyaan baru bagi saya. Istri saya kadang ditanya orang kenapa saya suka pergi sendiri, jalan kaki maupun bersepeda.
7 Comments
wah bengkel komunis, eh komunal!
Bengkel motor, warung penjual pakan burung, dan entah apa lagi juga begitu.
Bengkel trail yg membikinkan sy “trail prakarya” jg selalu full oleh bapak-bapak yg kongko ttg trail tua. Sebagian besar adalah anggota komunitas trail tua.
Dahulu, selama sekitar dua bulan, sepekan dua kali sy ikut kongko di sana sekalian nunggui trail pesanan sy digarap.
Setelah trail sy beres, sy jarang bingits ke sana, terlebih sejak pandemi.
Sy tdk ikut komunitas trail tua, atau komunitas apapun. Para anggota komunitas trail tua naik trail tua mrk pada waktu2 ttt, termasuk untuk “trail2an”, saya naik trail tua harian, untuk melindas aspal jalan raya maupun jalan kampung.
Mohon maap, komen panjang bingits. 🙏
Soal selera dan pilihan.
Pada era milis saya pernah ikut dua milis komunitas mobil, dgn tujuan kalo ada masalah bisa tanya, dan dapat rekomendasi bengkel khusus.
Pertama milis Spark, kelanjutan Daewo Matis, city car 800 cc milik istri. Saya gak pernah ikut jambore dan touring.
Yang kedua lbh serius, berupa klub, khusus Terios dan Rush, dapat nomor anggota, stiker besar nomor anggota, baju pit crew, dan diskon servis ke bengkel. Saya gak pernah ikut kopdar. 🙈
Oh iya sy banyak ikut komunitas trail tua dhing, tapi di facebook dan grup WA. Spt paman, untuk cari2 info ttg bengkel, suku cadang, dll.
Gak pernah ikut kopdar jg.😁
Saudara Jun asosial ternyata 🙈
antisosial tur skoy.😬