Jangan mudah mengeluhkan transportasi publik di The Greater Jakarta. Kenapa? Orang lain yang mendengar mungkin lebih susah tapi lebih tabah.
Kemungkinan berikutnya, bukan karena tak punya empati, orang lainnya lagi cuma heran, “Kok beli rumah di sana sih?”
Kehidupan ini berisi uang sinauang. Seorang murid SMA swasta di Jakbar menanya Bu Guru, “Napa sih Bu, guru-guru kalo milih rumah suka yang jauh?”
Mayoritas guru SMA itu bermukim di luar DKI. Ada seorang guru yang tinggal di Bekasi, bawa mobil sendiri, pukul empat pagi sudah mandi, lalu pukul lima kurang seperempat harus sudah cantik siap berangkat. Putri sulungnya, yang sudah mandi, begitu mobil jalan sekilometer sudah ngowoh tertidur. Dia bersekolah di Lapangan Banteng, Jakpus.
Tetapi seorang muridnya ada yang selalu terlambat setelah orang tuanya pindah ke Harvest City, Cileungsi, Bogor, sejauh 42 km dari sekolah. Padahal sekolah masuk 6.30 sudah lama berlalu.
Tua di jalan adalah lagu tema orang Jabodetabek. Seperempat gaji, bahkan lebih, habis untuk transportasi adalah lagu klasik. Setiap orang dan keluarga punya drama masing-masing.
Meskipun ini isu lawas, laporan utama Kompas hari ini tetap menarik.
2 Comments
saya bersyukur tinggal di kota yang meski transportasinya tak sempurna, tapi cukup buat saya..
Nah 👍🍎