Niat saya bukan memotreti tanaman pagar tapi membeli tahu isi, pisang goreng, dan onde-onde. Tapi ternyata warung itu tutup lagi. Saya datangi Bu Penjual di rumahnya, belakang warung, dia sedang duduk di teras, bilang, “Lagi nggak enak badan nih, Pak. Maaf prei dulu.”
Baiklah. Tapi saya pernah dengar di blok lain, beda RW, ada warung serupa. Saya cari. Tidak ketemu. Lalu saya ingat pengalaman sebelumnya, menemukan kembang tapak dara. Maka saya secara acak memotreti tanaman di luar pagar yang saya lalui.
Pagi mulai hidup. Tapi jalan sepi. Orang-orang masih di dalam rumah. Justru karena pagi sudah menggeliatkan aktivitas domestik di setiap rumah maka saya pede memotreti. Kalau saya lakukan saat sepi banget, malah bisa dicurigai. Apalagi kamera CCTV mengintip di beberapa rumah. Motor dan mobil yang berangkat kerja juga melihat saya.
Lalu apa kesimpulan dari sejumlah gambar tanaman pagar? Ada yang diopeni dan ada yang tidak, terutama di depan rumah yang tampaknya kosong tak terawat. Tapi jika tumbuh, bunga dan daun, pun buah, apapun bisa indah di mata lensa ponsel.
Ada yang menanam cabai, pohonnya rimbun, di luar pagar, sama dengan tetangga saya. Ada pula yang menanam pohon pace. Juga ada yang menanam pohon nangka.
Beberapa kali saya mendapati, para perawat tanaman pagar adalah bapak rumah tangga. Biasanya usia mereka layak disebut pensiunan. Saat pandemi, makin banyak kaum bapak terlihat mengurusi tanaman. Di sudut RW saya malah ada seorang bapak yang rajin mengurusi tanaman, dan beberapa kali dirubung ibu-ibu.
2 Comments
Sy akan tanya ke Om Kamso, apakah Paman cocok dijuluki (piyayi sepuh) spesialis pemotret bunga dan tanaman.
Coba saja