Balon Rp2.000 dapat 40 buah

Balon adalah barang murah yang merepotkan orangtua. Biarpun gratis, mereka ogah ambil banyak.

▒ Lama baca < 1 menit

Kapan terakhir kali Anda beli balon bukan untuk acara ultah anak?

Sabar, judul itu pertanyaan saya untuk orang kios fotokopi dekat rumah. Ternyata satu emplek karton yang isinya 40 balon itu dijual Rp2.000 per balon. Kalau beli satu emplek ya bayar Rp80.000. Ada hal yang menarik: nomor ponsel pemasok.

“Mau beli, Pak?” tanya Mas Fotokopi. Saya jawab, “Sayang, saya nggak punya anak kecil.”

Oh, balon. Apa saja kenangan Anda tentang pelembungan? Kalau soal lagu pasti ada, ya balonku ada lima yang kemudian digoreng menjadi urusan politik identitas. Aneh juga.

Dua puluh tahun silam, lagu balonku dengan cara menyanyikan berbeda pernah menjadi rada dering saya di ponsel berbasis Epoc, OS sebelum Symbian. Siapa pembuatnya hingga kini saya belum tahu. Dulu, awal milenium, dianggap lucu karena ponsel polifonik belum meluas. Tapi hal itu membuktikan saya norak dan snob kan? Ya.

Ringtone itu untuk menandai panggilan dari ponsel anak saya. Untuk default saya pakai track dari album Steve Hackett.* Ini juga snob.

Cerita lain tentang balon pernah saya ceritakan di sini namun arsipnya belum ketemu. Intinya: balon itu murah tapi merepotkan. Biarpun gratis, orangtua enggan mengambil balon sebanyak-banyaknya dalam kondisi melembung. Saya merujuk McDonald’s, KFC, Wendy’s, dan lainnya.

Dulu kalau ikut pameran komputer di JCC, saya meminta teman di bagian promosi menyediakan balon berlogo produk kami. Kerepotan pertama dimulai dari kami sendiri, harus merekrut orang untuk memompa, bukan meniup, balon.

Kerepotan kedua ya di tangan konsumen yang membawa anak apalagi menggendong. Dibawa masuk ke mobil pribadi, taksi, apalagi bus, balon itu menyita ruang. Belum lagi kalau meletus, misalnya ada orang iseng mengecrutkan kabut kulit jeruk. Bikin kaget karena balon meletus, anaknya menangis pula, sementara pelaku pura-pura tak hirau.

*) “Firth of Fifth”, dari album Watcher of the Skies: Genesis Revisited (1996)

4 Comments

junianto Selasa 25 Januari 2022 ~ 16.02 Reply

The path is clear, though no eyes can see…

Pemilik Blog Selasa 25 Januari 2022 ~ 17.08 Reply

Lagu kebangsaan wong lawas.
Firth of Fifth itu pelesetan untuk Firth of Forth, muara Sungai di Skotlandia

junianto Selasa 25 Januari 2022 ~ 17.28 Reply

Huma di Atas Bukit agak mirip atau bagaimana?

Pemilik Blog Selasa 25 Januari 2022 ~ 18.46

Di versi yang lama, ada penggalan mirip Steve Hackett. Di versi baru, remastering, bagian itu sudah diganti

Tinggalkan Balasan