Saya keluar rumah saat azan amat lantang berkumandang. Saya ke warung untuk membeli telur dan garam, tapi aneh di tiga warung garam habis. Senja tadi sepi, karena saat salat magrib. Setelah magrib juga sepi. Gelap lekas menyergap.
Makin ke sini kompleks saya kian sepi. Anak-anak yang dulu mengejar layangan kini sudah jadi bapak. Anak-anak mereka lebih banyak di rumah. Hanya sesekali, saat libur, mereka bermain di luar, berlarian, kadang bersepeda.
Para penghuni mula-mula sudah menua, sebagian sudah menghadap Sang Khalik. Saya ketika pindah masih termasuk muda. Ada warga sepuh yang hingga kini menyapa Mas. Ada pula yang hingga kini menyebut nama saya dan istri saya apa adanya. Yang lain membahasakan kami sesuai anak dan cucu mereka. Untuk istri saya ada panggilan Eyang, selain Tante dan Bu — yang Bu oleh yang kurang dekat. Untuk saya adalah Pak dan Oom.
Senja yang dalam waktu singkat menjadi malam, kompleks makin sepi. Tak ada orang berjalan kaki. Untuk jarak dekat mereka naik motor. Di lapangan tanah depan Alfamart, yang disebut Pangkalan CH, satu dua mobil akan berangkat menjemput penumpang, mungkin tak sampai Cililitan, hanya sampai Garuda dekat TMII. Tanpa pandemi pun angkot CH makin kekurangan penumpang karena setiap keluarga punya motor, lebih dari satu — kecuali saya, sudah enam belas tahun belum punya lagi.
5 Comments
Ayo beli motor lagi, dong, Paman. Masak cuma pit2an melulu. 😁
Ndak punya duit sekarang. Dulu saya waktu punya duit mau beli cash disuruh inden tiga bulan, tapi kalo kredit langsung dibawa pulang. Kesal saya.
Tapi bukan itu alasan utama. Saya ndak punya tempat buat motor. Carport sempit, ngepas. Teras saya tinggi. Repot dah 🙈
Iya, dulu di Solo juga ada model cash hrs inden, kredit langsung bawa plg/dianter pakai mobil pikap.
Nah, supaya motor bisa punya tempat di rmh, ya terasnya dicendhekke dong. 🏃
Nunggu donatur dari Sala
Kalo di bursa mobil bekas Jakarta, harga yang ditawarkan di mobil123 itu kredit. Kalo cash bisa lbh mahal sampai Rp10 juta. Aneh.