Aku menghina maka aku ada. Bagi yang direndahkan, aku dihina berarti aku ada. Siapa yang waras?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Rumah cebong dan kadrun kadal gurun tanpa kampret

Seorang pemilik rumah heran saat seseorang mengomentari hiasan pagarnya, “Kodok ortu cebong ada, kadal yang mungkin dari gurun ada, kok nggak ada codot atau kampret, Mas?”

Pelabelan memang jamak dalam politik. Di Amerika, Partai Demokrat adalah keledai dan Partai Republik adalah gajah. Infografik media selalu menyertakan ikon itu dalam versi berbeda karena keduanya bukan logo partai.

Di Indonesia, pelabelan cebong dan kampret, oleh masing-masing pihak terhadap lawan dalam pilpres, telah membelah warga, berjejak panjang, masih terasa hingga hari ini, padahal kandidat yang kalah sudah berada dalam kotak kuasa bareng kandidat terpilih.

Maka kampanye rekonsiliasi pascapilpres dari Charles Honoris (PDIP) dan Rahayu Saraswati (Gerindra) pada 2019 lalu, “Saya cebong” dan “Saya kampret”, layak kita hargai.

Di luar label utama berlatar keberpihakan capres, ada label yang tak jelas kriterianya yakni kadrun alias kadal gurun. Siapa mereka? Apakah label akan tetap tersematkan pada 2024?

Pelabelan sepihak terhadap pihak lain dalam aneka bidang kadang bisa berarti pemerosotan nilai sosok untuk tidak mengatakan menghina.

Aku menghina maka aku ada. Bagi yang direndahkan, aku dihina berarti aku ada. Siapa yang waras?

4 thoughts on “Rumah cebong dan kadal tanpa kampret

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *