Pierre Gentho menelepon, menanya kabar, dan peluang sabetan. Kamso bilang kabar dirinya baik, dalam arti sehat raga dan semoga juga jiwa. Soal rezeki, yah hanya bisa berharap ujian ini selesai saat tutup tahun.
“Aku berat, Mas. Nggak kenal lagi cold brew dan kapucino Starbucks dan brands lainnya. Gonta-ganti biji kopi buat french press di rumah nggak bisa lagi. Kembali ke Kapal Api bubuk tanpa gula. Hahahaha,” dia berkisah.
“Nggak papa. Orang harus realistis. Aku sekarang juga tahu diri. Eh, bukannya Kapal Api sama Excelso bersaudara, di bawah Santos,” Kamso menyahut.
“Lidah itu jahat ya, Mas. Kalo udah kenal yang enak jadi susah balik ke masa lalu.”
“Lidah itu jahat kalo nyangkut fitnah dan ngomong jelek. Kalo soal rasa, lidah bisa diajak kompromi, ingat ke masa susah, soalnya rekaman rasa masih melekat di memori.”
“Selain lidah apa mas yang suka manja?”
“Kulit manusia. Kalo udah kenal bahan bagus buat tapi, baju, celana, sampe sepatu, bahkan seprei dan sofa atau sekalian karpet, diajak turun kelas ogah.”
“Hahaha! Apa lagi Mas?”
“Kuping. Waktu daya belimu bagus, telinga kamu asah dengan audio bagus. Naik kelas terus. Begitu alatmu abis, kupingmu jadi rewel. Jadi intoleran padahal kamu bukan garis keras, cuma garis aleman, garis manja.”
“%$#&! Hahahaha! Gimana dong, Mas?”
“Orang tua Jawa bilang, aja dumèh, kudu éling lan waspada. Ingatlah jati dirimu siapa. Dulu udah hepi punya Suzuki Carry bekas, rasa syukur itu patut dipelihara sampe hari ini. Dulu makan di warteg juga bisa kan? Apa yang dulu enak tapi sekarang nggak kejangkau, ya nikmatilah sebagai kenangan yang personal. Manusia normal itu adaptif kok, Lé!”
“Oh aku pikir éling lan waspada itu inget sama yang lain tapi harus waspada sama yang di rumah, Mas!”
“Halo! Ya, halo! Halooooooo…”
2 Comments
Waduh, cilaka, kulit saya telanjur manja nih, Om Kamso!
#Eling lan waspada versi Piere Gentho itu benar-benar versi gentho sekaligus ndembik🙈
Manja bisa disembuhkan kalau bukan bawaan lahir