Malam sehabis hujan, udara agak basah tapi hawa tak terlampau lengas. Sebuah rumah kecil, yang semua lampunya di dalam maupun luar bercahaya kekuningan, di dekat pertigaan itu masih membuka jendela di loteng. Kebetulan nyamuk tak banyak.
Jendela bisa menjadi kemewahan saat ini, apalagi di permukiman padat yang tembok samping rumah saling menempel, hanya menyisakan celah untuk tetesan air hujan yang mengakibatkan tembok lembap berjamur.
Di permukiman padat saling menempel, hanya ada jendela di depan rumah, karena tembok belakang pun saling menempel dengan rumah tetangga.
Ini masalah arsitektural, tapi pasti ada solusinya. Namun menjadi repot jika setiap rumah punya anak lebih dari seorang, apalagi yang tinggal di sana bukan hanya keluarga inti.
Mencontoh rumah-rumah kecil sempit di luar negeri dari Pinterest, terutama Jepang, belum tentu layak terap di Indonesia. Apalagi meniru rumah Nordik yang dingin dengan atap kaca, takkan cocok di kota-kota pantai Indonesia.
Memang untuk cahaya bagi perumahan rapat ada solusinya, berupa atap bening di atap. Tapi soal jalur aliran udara dan sekaligus cahaya yang bernama jendela itu bukan soal mudah.
4 Comments
di Jerman ada aturan bahwa bangunan harus ada jendel dan cahaya bisa masuk.. makanya kalo ada gedung-gedung tinggi sudah diperkirakan untuk tidak mengganggu cahaya masuk ke bangunan lainnya..
Di sini KPUPR punya hitungan luasan jendela maupun sirkulasi dan ada panduannya. Masalahnya info itu nggak sampai ke rakyat.
Soal lain, di Indonesia IMB di perkampungan dan kompleks, yang jauh dari jalan utama, sering diabaikan. Renovasi dan bangun rumah pada nggak ngurus IMB.
Beruntunglah saya dan keluarga, hidup di kampung yang tidak terlalu padat permukimannya sehingga jendela pun menjadi hal biasa, bukan kemewahan.
Baguslah itu. Ketika ada pandemi yang jadi masalah adalah sirkulasi udara.