Jawaban lumrah sok netral: “Sharing aja.”
Dengan catatan, jawaban diberikan oleh orang yang khusus datang ke lokasi bencana khusus untuk melihat-lihat sambil berswafoto padahal kendaraan mereka menghalangi relawan dan petugas. Aksi mereka juga bikin sebal warga di lokasi. “Lagian kan sekali ini aja, nggak saben hari.”
Buat apa nge-share? “Biar orang tahu gimana kondisinya.”
Lho di TV kan sudah ada, malah lebih dulu, kan? “Ya kan beda gambarnya. Lebih spesial soalnya personal. Kalo lebih jelek, lha kita kan bukan profesional.”
Di luar gambar lebih bagus atau nggak, emang apa kelebihan ada tampang sendiri dalam foto dan video? “Ih, gimana sih? Namanya kan selfie? Sekalian buat bukti kalo kita sendiri udah liat langsung, on the spot! On the top!”
Penting ya? “Penting apa nggak, itu masalah saya. Yang penting kan nggak ngerugiin orang lain.”
Foto dan video selfie itu penting bagi orang yang liat di hape mereka nggak? “Kalo nggak ada yang marah berarti penting. Situ ini kok sok polisi apa sok wartawan gitu. Nanya mulu apa maksud dan tujuan orang lain.”
Yeah, inilah era media sosial. Semua orang bisa bikin konten visual. Aku berswafoto di sebuah tempat maka aku ada.
Inilah era setiap orang menjadi pewarta, bahkan rasanya yang pertama, karena wajah sendiri di lokasi adalah bukti presensi.
Masalahnya, apakah itu berlaku untuk semua hal? Berpose di tempat wisata, di kedai, di bawah panggung pertunjukan, atau di tribun stadion sepak bola jelas berbeda dari lokasi bencana, apalagi jika dampak masih tebal terlihat, dan masalah korban belum teratasi. Berbeda dari berswafoto dengan jip di lokasi bekas lahar.
Tentu sangat berbeda dari swafoto para relawan maupun penyintas di lokasi.
Jika semua pertanyaan fiktif tak bermutu tadi harus ditutup, inilah kuncinya: sampai seberapa lama para pemirsa foto dan video menyimpan dan ingat semua kiriman dari penggemar selfie yang khusus bertandang ke lokasi bencana?