Ketika koran cetak masih kuat, Kompas sudah punya Klasika, kaveling konten milik bagian iklan, bukan redaksi. Kaveling itu melengkapi display ads dan classified ads. Isinya bisa artikel sponsor, bisa juga konten lunak awet tanpa penaja.
Belakangan kaveling itu lebih sering hemat teks karena berupa poster. Dan itu pun berisi promosi Klasika. Mirip bilbor nganggur, karena sedang sepi penyewa, yang mempromosikan si bilbor.
Konten di Klasika yang bukan poster juga lebih bersih, tak padat teks, sehingga memang lebih ringan di mata. Sementara konten berbayar yang kerap muncul, misalnya dari Badan Intelijen Negara tentang vaksinasi Covid-19, di halaman depan, masih berupa advertorial dengan teks berjejal, menyaingi berita.
Saya tak tahu angkanya, tapi sok tahu berani bilang tiras koran cetak terus menurun. Iklannya tampaknya juga, yang display maupun iklan kolom. Kaveling iklan kolom atau iklan baris juga kerap diganjal materi visual promo Klasika. Bahkan kaveling itu berisi rate card — sudah lama sih, tapi dulu hanya ada di boks redaksi.
Kenapa saya sering membahas Kompas? Karena saat ini saya hanya membaca koran itu, tersebab saya anggap yang terbaik, saya akrabi sejak bocah.
Lantas kenapa saya masih membaca koran kertas? Untuk menikmati transisi ke alam digital sepenuhnya. Saya ingin menjadi saksi zaman sambil melarutkan klangenan saya akan jeluang yang dalam bahasa Jawa disebut dluwang. Apa itu? Ya kertas.
2 Comments
Sebagai orang yg pernah 20 tahun bekerja di koran cetak, saya selalu sedih membaca isi konten seperti ini….
Apa boleh buat, zaman terus bergerak 🙏