Kenapa Rolex?

Pertanyaan naif dan memalukan tak hanya bagi penanya tetapi juga pendengar: apakah merek jam memengaruhi adat jam karet?

▒ Lama baca < 1 menit

Iklan arloji Rolex Oyster Sky-Dweller di koran Kompas

Saya tak dapat menjawab judul karena bukan ahli arloji*. Bahkan berkhayal punya Rolex pun belum pernah karena tak berminat. Nyatanya jenama ini kuat di benak dunia. Rolex termasuk jenama yang masih beriklan resmi di Kompas. Iklan baris membeli jam Rolex bekas juga muncul saban hari.

Saya tak mencari tahu berapa rupiah harga Rolex Oyster Sky-Dweller di Indonesia. Kok rupiah? Menurut hukum, semua transaksi di republik ini harus dalam rupiah. Jadi saya tak mencari tahu harga USD, GBP, maupun EUR di luar negeri.

Tentu Rolex versi replika juga terus dijual, bersama jenama lain yang dikenal sebagai jam mahal.

Adakah perbedaan pemakai jam ori dan jam KW, juga jam mahal dan jam di bawah Rp100.000, apapun mereknya, dari sisi manajemen waktu yang tentu saja anti-jam-karet? Itu pertanyaan naif. Memalukan tak hanya saat diajukan namun juga saat terdengar.

Bursa jam tangan Rolex bekas

*) Dari bahasa Prancis “horloge” (kira-kira dibaca or-loz), menyerap kata Latin “hōrologium”, kemudian bahasa Belanda memungutnya menjadi horloge (hor-lo-zye), lantas bahasa Melayu menyerapnya menjadi “arloji”.

3 Comments

junianto Rabu 24 November 2021 ~ 10.18 Reply

Sy jg nggak pernah berkhayal punya Rolex, krn tahu eh dengar bahwa harganya mahal sangat.

Arloji yang saya punya, bukan kawe, berharga 400 rb atau 500 rb, saja sdh sy anggap mahal —itu saya punya karena dibelikan istri.

Pemilik Blog Rabu 24 November 2021 ~ 10.43 Reply

Soal selera, preferensi, dan daya beli. Tapi belum tentu bertaut dengan disiplin waktu. 😁
Beberapa orang sudah puas dengan jam di ponsel, termasuk teman saya yang pernah punya Rolex.

junianto Rabu 24 November 2021 ~ 11.05 Reply

beberapa bulan sejak mulai pandemi hingga sekrg sy juga puas dgn jam di ponsel, setelah saya pensiunkan-sementara dua arloji saya😁

Tinggalkan Balasan