Lirik lagu pop Jawa dalam bahasa sehari-hari sama haknya untuk hadir bersama lirik dalam bahasa tinggi.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Kaca spion Denny Caknan dalam lirik lagu pop Jawa

Dalam banyak hal saya memang ketinggalan. Maka lagu-lagu pop Jawa, dan penyanyinya, baru saya ketahui belakangan karena saya kerap memutar radio daerah, yang paling sering adalah Lintas Kota Gaplek, Wonogiri, Jateng, siarannya 24 jam tapi minim suara penyiar. Kadang saya juga mendengarkan Swara Koncotani, Godean, Sleman.

Ada lagu yang liriknya mengundang rasa ingin tahu untuk menengok judul di daftar pemutaran. Salah satunya ini: “Kartonyono Medot Janji” — ya, “medot” bukan “medhot“. Penyanyinya pun baru sebulan saya tahu, yaitu Denny Caknan. Padahal lagu itu sudah ada dua tahun lalu. Malu saya. Pernah mendengar nama dia disebut tapi saya pikir dia itu komika.

Penggalan liriknya, “Budhalo, malah tak duduhi dalané (yo-yo-yo) / Metu kana, belok kiri, lurus waé /Ra sah nyawang sepionmu sing marai ati tambah mbebani“.

Berangkatlah, malah kutunjukkan jalanmu / Keluar dari sana, belok kiri, lurus saja / Tak usah melihat spion yang membuat hati tambah terbebani

Lagu-lagu pop Jawa ternyata memang menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, kadang bercampur bahasa Indonesia. Soal ejaan bisa beragam, memang sih “duduhi” (dari kata duduh, artinya kuah) dan “tuduhi” (dari kata tuduh, artinya tunjuk) itu berbeda. Demikian pula “loro” (dua) dan “lara” (sakit). Pada era Koes Plus berlagu pop Jawa, ejaan lirik yang beredar juga menggunakan bahasa lisan keseharian.

Jika semuanya menggunakan lirik seperti “Asmara Wédha” (ditulis “Asmoro Wedho”; banyak versi, semua saya ketahui dari radio sebulan terakhir, yang bagus antara lain Lala Atila dan Ari Blothong), dan juga “Jagat Anyar Kang Dumadi” dari Soimah (indah sekali, saya ketahui dari YouTube tak sampai seminggu setelah tertayang), mungkin banyak orang tak paham.

Bahasa kedua tembang itu kurang akrab bagi orang yang terbiasa dengan “wes” bukan “wis” apalagi “wus”, atau menganggap sama “wedi” dan “wedhi” dalam penulisan. Kalau bagi penggemar wayang mungkin bukan masalah. Saya? Tak paham wayang.

Saya baru akan belajar tahap awal, mintip-mintip, ke arah lagu pop Jawa, tetapi tak terlalu mengikuti musik Didi Kempot, sehingga gagap juga untuk memahami. Padahal saya orang Jawa, tumbuh besar di Salatiga dan kemudian Yogyakarta. Tapi saya sudah bersikap: semua cara bertutur dalam lirik sama-sama punya hak untuk hadir.

Lalu dari lagu “Kasmaran Interlokal” misalnya, saya menemukan pendekatan lain dari sisi tema, yakni pekerja migran Indonesia. Ini kontemporer dari sisi lirik tembang pop Jawa dalam arti sebatas saya tahu.

Telepon kini menjadi barang biasa bagi hampir semua orang, bukan produk elitis. Artinya berbeda situasi ketika pada 1980-an Fariz R.M. dan Symphony membawakan “Interlokal“, dan sebelumnya lagi, medio 1960-an, Lilis Suryani membawakan “Telepon“, saat telepon kabel pra-otomatis adalah barang langka, hanya untuk warga urban makmur.

Kembali ke lagu Denny Caknan tadi, bagi saya idiom kaca spion untuk menengok masa lalu itu modern dan urban. Memang sih, kaca spion juga hadir di tlatah rural.

Bahwa tak semua sepeda motor memasang kaca spion, apalagi untuk trail, seperti seorang warga Serengan, Sala, itu perkara lain. Trail tanpa spion, kalau perlu tanpa lampu sen alias richtingwijzer, padahal bukan model SE, karena untuk jalan umum, memang lebih mbois.

¬ Gambar praolah: Tokopedia

5 thoughts on “Kaca spion Denny Caknan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *