Kamsi heran, akhir pekan sebulan sekali, sehabis gajian, si genduk ragil Litty ada acara makan bersama secara daring. “Aneh-aneh ya kantor zaman sekarang?”
“Yah namanya juga generasi milenial dan Z,” sahut Kamso.
Lalu Kamsi melanjutkan, bujet maksimum yang akan diganti kantor maksimum Rp100.000. Makan malam bersama seperti rapat virtual itu diikuti seluruh anggota tim, dari rumah masing-masing, tak sampai sepuluh kepala.
“Lha ya bagus. Untuk merawat kebersamaan selama WFH,” kata Kamso.
Khas orangtua, mereka bersahutan bahwa Litty layak bersyukur, karena kantornya, sebuah startup besar, mengenal traktiran. Di startup sebelumnya, juga e-commerce, makan bukan soal. Untuk siang ada katering. Setiap pagi tersedia sarapan, ambil sendiri, dari sereal, roti, sampai mi instan, plus aneka minuman. Anak kos bahagia.
“Kalo soal makan malam itu ada baiknya sih, keluarga bisa ikut kebagian,” kata Kamsi.
Sore tadi, saat mereka membahas itu, kurir Domino’s Pizza datang. Kamso yang menerima hantaran pun melihat setruk: Rp100.000.
Kamsi berkomentar, “Untung si kecil nggak pesen burger buat serumah. Selain bujet nggak cukup juga Mas nggak bisa ikut makan.”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
4 Comments
Mohon penjelasan, kalimat terakhir ‘Mas nggak bisa ikut makan, itu karena Mas (Antyo?) tidak doyan, atau kenapa?
Menurut Mas Kamso, sepanjang ada pilihan lain dia gak makan burger. Mungkin karena lidahnya ndesit 🤣
Kok meh podo aku 😁
Kalau anak sy pesan pizza atau burger, seberapapun banyaknya, saya hanya akan mengambil secuil —untuk tombo pingin, kata wong Solo.
Mesakaké, kata teman. Ilat ndésa. 🤣