Saya ingin pilpres yang santai

Coba ingat pilpres sebelum 2014. Sebagian dari kita hanya ingat siapa yang menang, lupa siapa saja yang pernah mendaftar ke KPU.

▒ Lama baca < 1 menit

Hasil survei secara tatap muka terhadap 1.200 responden oleh koran Kompas Oktober ini tak beda dengan survei April lalu. Soal siapa capres yang pas jika saat ini pilpres.

Bagi saya ada yang lebih penting. Saya tak ingin Pilpres 2024 mengulangi ketegangan dan polarisasi Pilpres 2019 dan Pilpres 2014, serta meskipun beda skala juga Pilgub DKI 2017. Itulah pemilihan yang membelah masyarakat, siapa pun beda pilihan berarti seteru, sehingga silaturahmi tercederai. Forum keluarga di jalur digital, dan kemudian kehidupan nyata, bisa terpecah. Di tingkat RT dan RW pun bisa terjadi dan berekor hingga hari ini.

Pilpres dan pilgub usai, luka tak langsung sembuh. Media sosial menjadi padang saling serang bahkan bila perlu dengan fitnah dan hoaks. Cerita dari pelbagai kasus konflik horizontal di mana pun sama nadanya: permusuhan tak lekas luntur, bahkan ada yang memelihara perseteruan seolah alasan untuk hidup adalah selalu punya musuh yang harus dienyahkan, bila perlu dibinasakan. Kalau perlu malah menciptakan musuh baru dengan memperlebar sasaran bidik untuk menyederhanakan segregasi, hanya ada “kita” dan “bukan kita” (kalau “mereka” kurang sederhana).

Coba ingat pilpres sebelum 2014. Sebagian dari kita hanya ingat siapa yang menang, lupa siapa saja yang pernah mendaftar ke KPU atau setidaknya mendeklarasikan diri. Setelah pilpres selesai ya sudah, tinggal mengawal pemenang termasuk mengkritiknya.

Politik bukan hal gampang. Tak selamanya berbekal nilai-nilai keutamaan (virtue). Para pemain sebenarnya tahu dan paham. Tapi ada yang mengabaikan atas nama kepentingan jangka pendek, tanpa hirau luka yang ditinggalkan, dan ada pula demi jangka panjang karena memang punya cita-cita berbeda namun ingin memanfaatkan demokrasi, dan jalur lain yang tak sesuai konstitusi, lalu setelah menang akan menghapuskan demokrasi.

Demokrasi memang tak sempurna, dan sering mengesalkan. Tapi itulah cara, bukan tujuan, yang sesuai akal sehat. Demokrasi dengan segala penyakitnya tetap memberi ruang untuk koreksi.

Pun demokrasi bisa naif: dalam batas tertentu memberi hak hidup kepada pihak yang antidemokrasi atas nama penghormatan kepada keragaman.

4 Comments

junianto Rabu 20 Oktober 2021 ~ 14.02 Reply

Saya golput, tapi kemudian dua kali jadi cebong demi ikut punya peran mengalahkan prabowo dlm pilpres.

saya juga pengin pilpres 2004 yang santai, tapi akan kembali golput….

Pemilik Blog Rabu 20 Oktober 2021 ~ 14.40 Reply

Cebong. Kampret.
Sebutan yang semoga tak terulang.
Lho bukannya di Amrik itu kalo Demokrat adalah keledai, dan Republik adalah gajah?
Beda riwayat sih, dan gak ada polarisasi, kecuali saat Trump ikut pilpres dan menang.

Tinggalkan Balasan