Penyebutan oknum adalah cara korps melepaskan diri dari tanggung jawab dan rasa malu.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Istilah oknum dipakai untuk menyelamatkan korps sekaligus cuci tangan

Setelah mengembalikan kunci Inggris kepada Kamso, Kang Bluluk menyentil istilah oknum. Pria 54 tahun yang pernah jadi reporter itu ingat, setiap tindakan buruk oleh anggota korps harus ditulis sebagai hal yang dilakukan oleh oknum.

Dulu, ketika Bluluk menulis “seorang babinsa” atau “seorang perwira” yang berlaku buruk, pasti akan dikoreksi editor menjadi “oknum”.

Si editor bukannya tak paham bahasa, tapi pada era Orba media yang tak menggunakan oknum — dari bahasa Arab “uqnum” — akan dianggap menyamaratakan perilaku seseorang sebagai perilaku korps, dan pemred bisa ditelepon pejabat sipil maupun terlebih militer.

Suatu kali Bluluk menulis, seorang oknum polisi membantu anak-anak SD menyeberang. Editornya tersinggung, “Kamu sengaja cari masalah, ya? Kalau ini lolos cetak, pemred harus bikin pengumuman minta maaf.”

Sebelum pulang, Bluluk bilang, “Orba udah tamat, tapi napa oknum masih laku ya, Oom? Padahal kalo nulis seorang kapolsek kan bukan berarti korps Polri? Nulis seorang letnan dua bulan berarti seluruh anggota TNI?”

“Korps apa aja, termasuk ormas dan bahkan guru, nggak suka kalo harus ikut bertanggung jawab atas perilaku buruk sejawatnya. Kata oknum adalah cara melepaskan diri dari rasa malu.”

“Hahahaha! Kayak guyon kalo ada temen kita bikin malu lantas kita berlagak nggak kenal!”

“Rada beda sih. Dalam kasus oknum, kalo ada tindakan dari atasan pasti disertai alasan si oknum mencemarkan korps.”

¬ Gambar praolah: Shutterstock

6 thoughts on “Jadi yang suka pakai istilah oknum itu siapa? Ya oknumlah!

  1. Oknum paman itu masih ngeblog…. (komen cengengesan).

    Semoga sentilan Kang Bluluk itu sampai ke kawan2 saya yang sekarang jadi editor/redaktur/korlip/manajer liputan/redpel/manajer produksi/wapemred/pemred (komen serius).

    1. Soal bahasa saja.
      Kalau menyebut “dua petugas polisi” berarti hanya dia orang itu.

      Memang bahasa jurnalistik Indonesia kadang merepotkan, terutama dalam penjudulan, karena kebiasaan mengabaikan tunggal dan jamak.

      “Satpam(wan) Bank Krupt menganiaya nasabah” memang ringkas, sesuai ekonomi kata, hemat karakter, tapi…

      Berapa satpamwan yang menganiaya?

      BTW satpam itu setahu saya korps. Anggotanya ya satpamwan. Para editor tak sepakat, tapi di blog pribadi saya bebas berbahasa 😝

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *