Ingatan tipis saya terlempar ke likuran tahun silam, pernah mendengar efek disleksis seseorang entah siapa mengira Tupac Shakur sebagai kupat sayur.
Pagi ini, barusan, Bang Kuyur lewat. Seperti penjual lainnya, dia menjajakan dagangan dengan pikulan. Bukan dengan gerobak dorong. Harga seporsi sama, Rp10.000 sudah termasuk telur utuh.
Seingat saya belum lama, tak sampai tahunan, kami sekeluarga membeli kuyur, atau kupat sayur, yang dijajakan keliling. Alasan berani mencoba adalah rekomendasi tetangga. Referensi komunal itu perlu. Memang sih tak semua kuyur enak. Dua pekan lalu dari penjual lain kami beroleh kuyur tak enak, hanya ada rasa asin dan pedas kelewatan.
Lalu apanya yang menarik rujukan pertetanggaan? Tak semua orang bisa menikmati hal itu. Jangankan mereka yang bermukim dalam kluster bergerbang ketat, beberapa teman saya di kompleks kecil terbuka pun jarang dilewati penjual keliling.
Kok bisa? Beberapa rumah kosong, atau jadi kantor kecil, lalu selebihnya adalah rumah yang dihuni lansia, mereka kurang tertarik dengan makanan keliling. Utusan belanja sayur dan makanan diserahkan kepada ART.
Di kampung saya, dan mestinya kampung-kampung lain di Solo tidak ada pedagang pikulan, adanya pakai gerobak dorong.
BTW di Solo tidak ada kuyur, adanya kupat tahu (enggak disingkat kuhu 😁) atau tahu kupat (enggak disingkat hupat 😬).
Makin sedikit penjaja pakai pikulan karena pasti capek.
Lebih praktis gerobak dorong. Kelak entah kapan pakai gerobak bertenaga listrik.
Sala eh Solo pakai istilah kupat tahu, bukan tahu guling?
Jogja akhirnya pakai kupat tahu karena serbuan pedagang dari pelat AA. Waktu banyak pedagang lokal, Prambanan Jateng, dan Klaten, namanya tahu guling.
Potongan tahunya juga beda.
banyak yg nyebut tahu kupat, dan banyak pula yg nyebut tahu guling.
saya sendiri sering pakai dua istilah itu.
Tahu guling, tahunya dipotong kecil-kecil baru digoreng. Biasanya gitu.
Kalo tahu kupat, potongan tahunya besar, ada yang dipotong saat masih panas.
wooo malah baru tau (bukan tahu 😁) saya.