Dari judul mudah ditebak, saya ini wong lawas. Waktu saya bocah, kue lapis tak berwarna pelangi. Paling cuma merah dan hijau. Dulu tuntutan konsumen belum sampai sana, dan rainbow cake belum dikenal.
Juga waktu saya kecil, makanan berwarna merah, atau ada unsur merahnya, serasa menjanjikan rasa enak. Padahal belum tentu. Maka saya selalu penasaran ingin tahu rasanya kalau melihat wajik merah, bukan cokelat.
Wajik merah di mana? Kalau bukan di rak kaca toko ya di meja tamu tuan dan nyonya rumah saat saya diajak bertamu. Atau ketika kebetulan di rumah ada.
Untuk penganan merah apapun di toko saya hanya bisa cegluk menelan air liur. Belum tentu ibu saya atau apalagi orang yang mengajak akan membelikan, tapi untuk meminta saya tak berani atas nama sopan santun. Terhadap Ibu, saya harus tahu diri uangnya tak banyak.
Saat diajak bertamu? Sama saja, harus menunggu tuan dan nyonya rumah menawari lalu ibu saya mengizinkan. Tidak boleh langsung comot. Tak mungkin saya bertanya apakah boleh mengambil. Jikalau obrolan orang-orang tua itu terlalu lama ya anak hanya bisa cegluk.
Saya rasa orang yang segenerasi saya mengalami hal itu semua tapi mereka tak mau anaknya mengulangi pengalaman kami. Zaman sudah berubah. Etiket kadang lebih longgar. Anak lebih didengar. Tapi cegluk masih ada.
2 Comments
Yang bener cegluk apa cleguk, to? 😬
Rumongso saya selama ini cleguk, je.
Ceglak cegluk menelan ludah.
Clegak cleguk minum terus.
Kayaknya gitu?
Jadi ragu saya 🙏😂