Sebetulnya saya tak menggunakan penmes (Jawa: pèmès) melainkan cutter atau pisau dengan bilah-bilah tajam yang dapat dipotong. Eh, apa ya bahasa Indonesianya cutter? Tentu pemotong. Pas. Ringkas.
Tahun lalu sudah saya kisahkan kejadulan saya: masih punya dan pakai pensil dua warna, berkelindan dengan kejadulan lain yakni menyerut pensil dengan cutter.
Malam ini saya kembali meraut pensil karena ujungnya tumpul. Bilah potong sudah saatnya berganti tapi saya tetap nekat. Hasilnya? Ujung pensil yang kasar. Yang penting masih bisa untuk mencoreti buku.
Kenapa tidak memakai sharpener? Pisaunya gampang tumpul. Alat sejenis, yang bisa ditempel di meja, pisaunya juga lekas tumpul.
Meraut pensil dengan pisau mengembalikan saya, sesaat, ke masa sekolah. Dulu saya bisa mengerjakan halus sekali untuk pensil HB dan 2B. Sekarang tidak. Mungkin faktor usia. Namun ketika masih ngantor, usia tak menghalangi saya mengulang masa SD: mencoak pangkal pensil untuk menuliskan nama.
Omong-omong soal rautan, keluarga yang tak punya anak SD sampai kuliah pun biasanya masih memiliki benda itu. Untuk menyerut pensil alis perempuan.