Ketika karyawan harus meringankan perusahaan dengan alat kerja pribadi. 🤣
↻ Lama baca 3 menit ↬

Lowongan kerja mensyaratkan motor pribadi dan menahan ijazah

Gara-gara cuitan Farchan Noor Rahman saya pun teringat sejumlah lowongan dan kasus alat kerja. Farchan membahas barang milik negara (BMN) di lingkungan birokrasi pemerintah (dan mungkin BUMN). Pikiran saya malah ke mana-mana.

Lalu saya cari lowongan yang mensyaratkan pemilikan sepeda motor pribadi. Masih ada, lalu tangkapan layar lowongan di Bandung itu saya jadikan ilustrasi.

Wajib punya motor tak hanya untuk pos kurir, dispatcher, caraka dan sebangsanya tapi juga lainnya. Malah di Mojok: guru rekrutan harus punya motor.

Melamar kerja kok harus punya motor

Kendaraan bisa menyewa

Mungkin tergantung kasus ya. Kalau untuk ojol, dan kurir paket, karena berstatus mitra — di luar isu keadilan imbalan — maka pemilikan alat kerja berupa sepeda motor itu tak terhindarkan. Di Lalamove, lowongan pengemudi tak memutlakkan pemilikan kendaraan tapi bisa menyewa. Saya tak mencari tahu apakah juga berlaku untuk motor.

Motor itu bisa murah bisa mahal tapi tergantung bagi siapa. Bagi perusahaan besar, harga skutik Honda Beat Rp17 juta mungkin murah, tapi nyatanya ada yang mempekerjakan kurir yang bermotor sendiri. Memang uang bensin dan parkir disediakan. Begitu pun biaya servis. Padahal dengan saban hari dioperasikan, apalagi di Jakarta, usia pakai si motor tentu cepat tua.

Terlalu juga kalau perusahaan gede, dari grup usaha gemuk, tidak memasukkan sepeda motor kurir dan OB dalam kendaraan operasional. Urik, kata wong Jawa. Curang.

Yah, mungkin itu sudah diatur dalam perjanjian kerja. Saya ndak tahu.

Kamera pakai milik sendiri

Ketika akan menulis posting ini saya menanya beberapa fotografer yang pernah bekerja di media di era analog: apakah pada hari pertama masuk mereka menggunakan kamera pribadi dan lensa pribadi?

Sebagian besar menjawab ya. Setahu saya minimum satu bodi dan satu lensa zoom 35-70 mm, plus biasanya punya 50 mm dan 28 mm.

Akan tetapi ada seorang perempuan fotografer yang ketika masuk kerja hari pertama tidak menggunakan kamera pribadi padahal punya. Alasannya: alat kerja berupa kamera dan perlengkapannya harus dari kantor. Dia bisa begitu karena saat wawancara dengan HRD dia bilang tidak punya kamera. Entah bagaimana isi interviu dengan redaksi terutama editor foto.

Dalam perjalanan waktu, soal kamera ini setahu saya jadi rasan-rasan fotografer di mana pun. Untuk fotografer berstatus karyawan, bukan kontributor maupun freelancer, mestinya alat dari kantor. Semua orang juga paham, satu kali jepretan itu mengurangi usia pakai kamera.

Itu baru urusan bodi kamera. Belum lagi lensa. Belum lagi baterai. Belum lagi… drone. Masa semua harus pakai pribadi? Ketika drone masih agak langka, media pemuat foto atau video hasil amatan mata burung bisa bangga sambil mengabaikan soal kepatutan pemilikan.

Tentu tak selamanya soal kamera berada di wilayah buram. Di grup penerbit besar, fotografer dan reporter bisa minta fasilitas kredit kamera untuk menunjang pekerjaan. Perusahaan dan karyawan bisa saling memanfaatkan.

Juga alat kerja lain

Dulu banget ketika laptop masih barang mahal, tak semua kantor redaksi menyediakan laptop untuk tugas luar. Maka awak redaksi harus merelakan laptop pribadinya untuk bertugas ke luar kota dan luar negeri.

Tak hanya laptop sih. Bisa juga alat lain: inkjet printer (kasus beneran, jangan ketawa) dan scanner juga bisa milik pribadi tapi untuk kerja dan ditaruh di kantor. Aneh juga, karyawan menyumbang kantor. Bahkan tinta printer pun menjadi beli sendiri karena reimbursement pembelian tinta ditolak.

Hal lain, penggunaan voice recorder pribadi juga bisa terjadi. Saya pernah mendengar seorang wartawan menggerundel harus keluar biaya BBM sendiri untuk SUV-nya yang dibelikan orangtuanya padahal untuk liputan.

Bahkan di era digital, seorang editor video harus memakai headphone sejawatnya selama dua setengah tahun sampai alat itu jebol karena kantor redaksi tak kunjung memenuhi pengadaan.

Saya pernah melarang orang muda yang suka musik dan piawai MIDI dan penyuntingan video di tempat lain untuk menggunakan kibor pribadi dan lainnya : “Entar kantormu kesenengen, mendingan kamu bikin karya di YouTube.”

Anggaran dan birokrasi panjang

Sejauh saya amati, masalah alat kerja di perusahaan dalam grup adalah anggaran dan eksekusi pengadaan.

Soal anggaran tentu mengenal prioritas. Apa boleh buat. Setelah anggaran oke, pembelian pun belum tentu lancar. Pada era sebelum ada belanja daring, akibat rentang waktu yang lama maka periferal komputer ketika akan dibeli di Glodok atau Mangga Dua dan Ratu Plaza, nah… merek, model, dan spesifikasi dalam surat pembelian sudah discontinued.

Akibatnya harus dibuat pengusulan dari awal. Lalu terulanglah ada uang tak ada barang.

Di perusahaan kecil hal seperti ini bisa dihindari karena urusan lebih luwes. Tapi kalau urusan luwes diterapkan dalam keuangan di perusahaan besar, bisa kacau. Meskipun begitu saya penasaran, tak adakah cara yang bijak?

Saya tahu ada seorang karyawan ketika di-PHK dia mengembalikan semua alat kerja termasuk barang-barang elektronik pribadi dan buku mahal. Saya mengejek, “Percuma nyombong. Yang nerima barangmu bukan bos tapi orang bagian umum.”

Memang sih seorang bos bisa bilang, “Saya pake alat pribadi nggak pernah ngeluh.” Ya, gajinya beda kan?

Menahan ijazah karyawan

Selain urusan alat kerja, soal yang masih mengganjal dalam iklan lowongan adalah penahanan ijazah pegawai.

Dalam soal ijazah ini karyawan dalam posisi lemah karena perjanjian kerja memuat klausul menyimpan ijazah di kantor oleh pihak berwenang, bukan di laci sendiri.

Pada awal 1990-an ada berita supermarket terbakar di Pondokgede, Bekasi. Yang juga ikut terbakar adalah ijazah karyawan. Saya tak tahu kelanjutan kisah ijazah-ijazah itu.

¬ Gambar praolah: Picsart

2 thoughts on “Mau kerja kudu punya motor, ijazah disimpan perusahaan

  1. beberapa kurir makanan di Berlin (Wolt dan Liferando) menggunakan sepeda sewaan. bagaimana saya bisa tahu? karena mereka menggunakan sepeda dengan ban depan berwarna biru dari Swapfiets. sementara kurir layanan belanja Getir (ya, namanya Getir) menggunakan sepeda bahkan sepeda motor dari perusahaan karena ada brandingnya.

    saya sepakat jika alat kerja harusnya disediakan oleh kantor. apalagi jika menyangkut data pekerjaan karena bagian dari rahasia perusahaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *