Boleh, minta, ngajak, dan nuansa bahasa

Ihwal nuansa dalam tuturan itu berupa tafsir sepihak atau pemaknaan kolektif, sih?

▒ Lama baca < 1 menit

Percekcokan karena makna kata dan kalimat

Pagi tadi Kamso membuktikan keluhan Delima tentang percekcokan bapak dan ibunya gara-gara bahasa.

“Ayo dimakan to, Pak. Ayo Delima! Kan semalem minta nasi goreng?” kata Bu Cekcok, pensiunan guru fisika SMA, di teras depan rumah yang kadang dipakai untuk sarapan.

“Aku nggak minta. Cuma bilang kangen nasgor Mas Bawor,” kata putrinya.

“Bapak malah cuma bilang, iya ya udah lama nggak makan nasgor Bawor,” ujar Pak Cekcok, pensiunan pegawai samsat.

Delima kesal. Masuk ke rumah. Suami istri itu terus berdebat soal bahasa, seolah melupakan Kamso yang berdiri di gerbang untuk mengambil tangga miliknya.

Menu sengketa mereka tetap: soal kata. Di mata suaminya, Bu Cekcok sering memelintir ucapan orang lain sesuai kepentingan. Mengiyakan permintaan untuk ikut dibilang mengajak. Menyanggupi beli oleh-oleh dibilang menawari. Nggak menentang dibilang mendukung.

“Lagu lama! Entar Bapak bilang aku yang ngajak kawin soalnya aku dulu yang minta dilamar!” sergah Bu Cekcok.

Suaminya tertawa, “Setiap kata punya makna. Makanya aku nggak sreg kalo nawarin apa gitu, Ibu dan Delima cuma bilang, ‘Boleh’. Kalo mau ya bilang mau, kalo nggak ya bilang nggak. Boleh itu artinya kalo ada barangnya ya mau, kalo nggak ada yang lupain aja.”

Kamso tak sabar, “Maaf, boleh nggak saya ngambil tangga? Njenengan berdua ini kayak advokat aja!”

Mereka bertiga tertawa.

¬ Gambar praolah: Shutterstock

Tinggalkan Balasan