Apa sih hal di luar uang menjadi pemberat bagi korban PHK?
↻ Lama baca 2 menit ↬

PHK di Lokadata.id saat pandemi, dua tahun sebelumnya di Beritagar.id

Jika menyangkut orang lain, nestapa lebih sering membuat kita terempas ke dalam kursi rotan jebol dengan pengikat anyaman simpati dan empati.

Lalu ya sudah.
Durasinya tak sama.
Kedalamannya juga.
Tergantung kasus, kadar drama, dan ikatan emosional kita dengan setiap orang lain.

Bagaimanapun hidup harus dijalani oleh masing-masing dari kita. Lebih bermakna jika kita dapat membantu kawan maupun kerabat yang tertatih-tatih setelah kepayahan untuk berdiri tegak.

Aku bicara tentang PHK. Lebih sempit lagi: PHK di tengah pandemi. Seperti pekan ini.

Ketika menyangkut sekelompok kawan, bahkan aku pernah menjadi sejawat mereka, sebagai kawan seperjuangan kalau pakai istilah gagah, simpati plus empati dan entah apalagi namanya berbuntut kemasygulan amat pribadi, dan mungkin egoistis: nasibku.

Perusahaan yang terpaksa menyingkirkan mereka, setelah dua tahun silam aku menjadi bagian dari gelombang pertama pemangkasan, tatkala pandemi belum menjamah Indonesia, tak bisa diharap bisa sembuh dari luka finansial. Itu kalau dengan tilikan pesimistis.

Artinya takkan ada lagi kontrak ulang untukku sebagai kontributor pasca-PHK. Lalu dalam perjalanan waktu setelah virus korona mengaparkan perusahaan, bayaranku terkorting separuh dalam perpanjangan kontrak enam bulan, dengan janji bahwa setelah kondisi membaik imbalan untukku akan kembali seperti sebelumnya, sampai akhirnya kontrak tamat riwayat, Juni lalu.

Pekan ini giliran teman-teman seperjuangan.

Baiklah aku tak ingin terjebak merasa sebagai bagian kaum termalang. Masih banyak pekerja lain yang jauh lebih muram nasibnya karena pesangon pun masih dinegosiasikan, bahkan ada yang mengalami THR terutang.

Apa sih hal yang berat di luar soal keuangan ketika seseorang kehilangan pekerjaan?

Banyak. Biasanya menyangkut nilai-nilai. Ada balutan bernama romantisisme.

Atau malah gumpalan melankolia: kenapa dulu bekerja sepenuh hati, tenaga, dan pikiran, sampai jatah cuti pun hangus, sudah tahu tak ada uang lembur tetap tetap sering bekerja melebihi jam bertugas, termasuk secara jarak jauh sebelum ada istilah WFH, bahkan pada hari libur?

Itu karena ada cita-cita. Ada impian. Bahkan mungkin utopia, yang dikerjakan kolektif untuk mewujudkan sesuatu yang bernilai, dengan maupun tanpa saham karyawan. Bukan karena dorongan masokistis.

Tanpa impian, dan hanya bekerja sekadarnya, setiap orang akan menjadi pas banderol. Apakah itu salah?

Tidak. Sama sekali tidak.

Setiap pribadi punya takaran masing-masing. Ukuran dan wilayah kepuasan pun beragam.

Hal itu menyangkut pilihan. Termasuk memilih jalur mimpi, bukan memilih jalur impian, yang secara sepihak disebut sebagai perjuangan orang-orang berstatus pegawai, bukan pemodal dengan dana ditempatkan maupun disetor. Gagal adalah risiko. PHK di tengah ekonomi yang sedang terengah-engah karena Covid-19 adalah yah… mau bilang apa lagi?

Masih ada hari esok. Baik sebagai manusia (sok) pejuang maupun pas banderol.

C’est la vie.

PHK di redaksi Beritagar.id dan kemudian Lokadata.id

¬ Edisi terakhir Beritagar.id (1 Desember 2019) dan Lokadata.id (17 Agustus 2021)

¬ Gambar praolah: Shutterstock, Picsart

2 thoughts on “PHK di tengah pandemi dan pas banderol

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *