Belasan tahun lalu seorang nyonya menanya saya di mana beli buku-bukuan — ya, dummy — untuk hiasan lemari. Saat itu toko daring belum marak. Lalu saya anjurkan ke satu dua toko yang saya tahu menjualnya, tapi kebanyakan berupa dummy buku hard cover klasik berlapis mirip kulit, sejak Shakespear sampai filsafat Yunani.
Sebenarnya itu tadi bukan dummy, karena hanya boks plastik berongga — ada juga yang sekalian celengan. Bukan buku-bukuan tebal yang berisi kertas kosong terjilid.
Si nyonya tadi mengakui dirinya tak suka baca, tapi setelah renovasi rumah selesai dia ingin ada rak penuh buku, “Biar keliatan intelek kayak rumah teman-teman saya. Hihihihi…”
Tak ada yang salah
Soal buku-bukuan atau bebuku(an) palsu itu muncul dalam ingatan saya barusan tatkala tersesat ke lapak penjual dummy.
Bagi saya dummy itu fungsional. Yang utama untuk penerbit dan desainer grafis ketika akan menerbitkan buku edisi khusus, misalnya serial dengan punggung seperti puzzle, kalau dijejerkan akan memberi efek visual baru, berikut boks.
Selain itu adalah desainer interior, dalam hal ini perancang furnitur, dan fotografer ketika ingin menghadirkan set nyata — bukan simulasi 3D di komputer — dalam mengomunikasikan gagasan. Toko perabot juga butuh buku-bukuan untuk ruang pamer rak. Begitu pun show unit perumahan.
Buku-bukuan tentang fesyen, dalam versi hard cover, juga lebih aman jika dipasang di salon. Meskipun pelanggan salon bagus adalah orang berduit, dalam syak wasangka saya akan ada yang tergoda menilap coffee table books asli tentang Chanel.
Dekorasi dan snobisme
Buku beneran pun punya fungsi dekoratif terutama bila tertata. Bebuku tertata akan mempermudah pencarian buku maupun pembersihan. Sama seperti kumpulan kaset, CD, dan piringan hitam.
Sebagai pajangan, buku asli maupun dummy enak dilihat. Buat hiburan mata. Bahwa belum semua buku asli selesai dibaca, itulah kelebihan punya buku sendiri. So many books, so little time.
Bagaimana kalau bebuku cuma buat gegayaan? Nggak soal. Pamer buku ori, bukan bajakan, tak merugikan pengarang maupun penerbit.
Kalau bebuku dummy? Sah saja untuk berlagak sejauh tak ada protes dari pemilik hak atas kekayaan intelektual terhadap produsen buku-bukuan. Sama sahnya dengan memajang repro maupun tiruan lukisan klasik Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci di kalangan keluarga Kristiani.
Kalau repro serigrafi tanpa lisensi dari Andy Warhol Foundation? Ehm. Saya kasih tip saja: bingkailah kaus repro, atau olah ulang, karya-karya Warhol dari Uniqlo karena yang itu legal. Lalu bingkailah.
Kalau poster band? Sebaiknya dari official merchandise karena hal itu menyangkut hak ekonomi artis yang kita sukai.
Untuk hak cipta desain sampul buku yang sudah kedaluwarsa, baik untuk melucu maupun bergaya? Silakan saja.
¬ Gambar buku Das Kapital: Wikimedia Commons
*) Catatan: Kenapa studio foto wisuda lebih memilih backdrop rak buku, bukan rak dengan bebuku dummy? Lebih praktis dalam penyiapan set, properti layar rak buku dengan judul (mungkin) sesuai gelar kesarjanaan maupun tata cahaya. Lagi pula konsumen sudah puas dengan backdrop. 😛
2 Comments
Jadi inget,di lemari buku saya masih ada tuh beberapa buku plastikan yang belum sempat saya nikmati isinya. Sebagian besar novel karya sastrawan kesukaan saya di masa remaja dulu. Tapi sekarang tenaga baca saya memang sangat terbatas, mungkin juga karena waktu saya sudah terkorupsi oleh hal-hal lain yang lebih njamani saiki, misalnya nonton netflix dari HP sambil rebahan hihihi. Sehat-sehat selalu Mas Tyo.
Hola AMD.
Ini masalah semua orang yang (pernah) suka buku 🙈🙊