Tadi siang saya mendapatkan upah menunggu istri di parkiran supermarket berupa minuman dan nanas potong yang terkemas dalam piring beling biru terbalut plastik.
Saya membatin dua hal. Pertama, baguslah bukan Styrofoam. Kedua, piring kaca dan keramik sudah menjadi barang lumrah dan murah, sudah biasa menjadi hadiah jualan.
Kalau mau membahas alat makan keramik sebagai barang mewah, ya mundurlah jauh sekalian ke temuan arkeologis, yakni tembikar Tiongkok di sekian banyak situs Nusantara. Begitu unggulnya keramik Cina sehingga “china” dengan “c” kecil berarti porselen Cina, peringkasan untuk chinaware.
Tentang piring beling, saya beroleh cerita itu dulu barang mahal bagi sebagian keluarga. Ketika suami isteri cekcok, disertai (saling) lempar piring, sehingga disebut piring terbang (tapi bukan UFO), maka setelah gencatan senjata dengan malu mereka meminjam piring ke tetangga. Kesejahteraan masyarakat waktu itu masih rendah.
Dari kaum sepuh saya mendapat cerita, dulu kado untuk pengantin juga berupa pecah belah. Lalu setelah itu jam dinding. Kalau hadiah payung saya belum pernah dengar, tapi payung sebagai cendera mata resepsi saya pernah melihat.