Pagar api dan iklan terselubung

Hal yang tampaknya simpel ini ternyata pelik. Hari ini masih bikin gamang. Bagi pengiklan maupun media.

▒ Lama baca < 1 menit

Hal yang tampaknya simpel ini ternyata pelik. Hari ini masih bikin gamang. Bagi pengiklan maupun media.

Lebih dari sekali Kompas memuat advertorial atau inforial dari Badan Intelijen Indonesia (BIN) dalam menangani Covid-19 dan dampaknya. Apanya yang menarik?

Kadang dalam penutup artikel ditulis “[INFO]” (Senin, 19/7/2021), namun kadang hanya asterisk atau tanda bintang seperti termuat hari ini (Senin, 26/7/2021).

Hal yang tampaknya simpel ini ternyata pelik. Hari ini masih bikin gamang. Bagi pengiklan maupun media.

Ketika memuat advertorial BNI (Senin 5/7/2021), Kompas juga hanya mencantumkan asterisk. Apakah tanda “(*)” sudah berarti mewakili inforial?

Hal yang tampaknya simpel ini ternyata pelik. Hari ini masih bikin gamang. Bagi pengiklan maupun media.

Hal yang tampaknya simpel ini ternyata pelik. Hari ini masih bikin gamang. Bagi pengiklan maupun media.

Padahal dulu Kompas termasuk media yang taat dalam membedakan artikel redaksi dan iklan, bahkan sebelum ada pedoman baku. Dulu artikel berbayar di pojok kiri bawah halaman pertama diberi tulisan vertikal “iklan” diikuti kode pemuatan.

Kenapa sih sejumlah media melakukan hal itu? Sebagai bentuk pertanggungjawaban penerbit kepada pembaca, bahwa konten redaksi dan iklan itu berbeda — terutama iklan dalam bentuk artikel yang mirip konten lainnya (native advertising).

Masalah iklan tersamar ini tak hanya dihadapi media cetak. Media berita daring pun punya persoalan sama. Kalau untuk blog pribadi dan komunal terserah, saya sih sejak dulu mencantumkan tanda advertorial, pernah juga inforial, dalam kategori, bukan hanya tag, untuk menunjukkan bahwa itu posting berbayar.

Andreas Harsono sepuluh tahun lalu sudah membahas soal pagar api pembeda iklan dan berita di blognya.

Adapun Ignatius Haryanto membahasnya di Koran Tempo, “Ketika Iklan Berasa Berita“, pada 2020 tentang jebakan native advertising. Dalam artikel dia juga merujuk Kode Etik Pariwara Indonesia yang menjadi pedoman industri periklanan.

Gesekan kepentingan redaksi dan bagian iklan ini masalah klasik. Ketika saya memimpin majalah, saya tidak memenuhi keinginan bagian iklan yang meneruskan pesan klien agar membuat “iklan halus yang tidak kentara” sebagai artikel dari redaksi tapi dibayar.

Kemudian ketika saya ikut mengurus sebuah media berita daring, saya bersyukur bahwa redaksi dan bagian iklan bersepakat memisahkan jenis konten sehingga ada “konten pemasaran” dalam nama rubrik dan keterangan “sebagai media mitra” jika menyangkut liputan hal yang merupakan bagian dari kerja sama, misalnya pertunjukan musik dan peluncuran film.

Sebagai media mitra, jika isinya terlalu jual kecap ya mohon dimaklumi. Begitu pun dalam konten pemasaran yang isinya kadang juga diperkaya infografik, videografik, dan video tutur.

Akan tetapi hal yang tampaknya simpel ini ternyata pelik. Hari ini masih bikin gamang. Bagi pengiklan maupun media.

Ini soal duit.

¬ Pemutakhiran Selasa (27/7/2021): Kompas hari ini memuat artikel berbayar di halaman 16 dengan mencantumkan “advertorial”. Belum jelas mengapa ada perbedaan identitas konten berbayar di halaman depan dan dalam/belakang.

Tinggalkan Balasan