Mungkin sudah menjadi keyakinan tebal bagi setiap generasi, bahwa hal tertentu yang bagus hanya ada di masa muda mereka.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Setelah memberesi urusan rumah sekadarnya, saya mandi, ngopi, lantas buka WhatsApp. Kebetulan sebuah grup yang isinya orang tua, sebagian sudah jadi kakek dan nenek, minta presensi visual saya — itu hal yang sangat jarang saya lakukan.

Yeah, demi memulihkan ingatan kolektif — “Oh, iya itu yang namanya Antyo, teman kita dulu” — saya pun mengirim swafoto. Kalau banyak yang pangling ya wajar, karena sudah puluhan tahun kami tak bersua.

Kaus yang saya pakai mengundang pertanyaan: memang pernah ada album Musik Saya Adalah Saya? Ada juga beberapa orang yang tahu.

Lalu obrolan berlanjut. Intinya: musik masa lalu lebih enak dan lebih baik. Saya tak sependapat tapi membiarkan. Ini soal selera dan rujukan. Jadi saya tidak menyanggah.

Bapak dan ibu saya, juga para oom dan tante, bahkan sepupu yang jauh lebih tua, menganggap musik era mereka itu paling oke. Maka saya, yang dengan sepenuh tahu diri sadar bahwa makin tua makin tipis rujukan musik kekinian seseorang, merasa tak perlu menyalin cara pandang mereka.

Mungkin sudah menjadi keyakinan tebal bagi setiap generasi, bahwa hal tertentu yang bagus hanya ada di masa muda mereka. Lalu orang muda sekarang pada masa tuanya nanti juga berpandangan serupa. Apa boleh buat.

Jelajah dengaran saya makin menurun. Maksud saya, dulu pun cekak apalagi sekarang. Misalnya menemukan sesuatu baru — karena berkah Spotify, Apple Music, dan YouTube — tidak mungkin saya bagikan ke teman sebaya.

Saya akan dianggap aneh karena berbagi musik aneh dari artis yang tak mereka kenal. Jangankan lagu baru, versi cover lagu lama pun oleh sebagian orang sebaya akan ditolak karena, “Nggak sebagus yang asli.” Bagi saya ini juga bukan menu debat. Sumangga kΓ©mawon. Apa yang saya suka tidak harus sama dengan orang lain, begitu pula sebaliknya.

Padahal selama pandemi ini kadang saya iseng ingin tahu secara acak musisi yang terus berproduksi. Mereka terus bermain itu pasti, tapi apakah merekamnya untuk ditunjukkan kepada publik belum tentu. Misalnya ini: “Hollow” (Poppysmic, Canga Anton, 2020)

Atau ini, “Feels Like Hell But It Will Heal” dan “Accepting Thyself” (Sundaneko, MelSickScreamoAnnie, 2020)

Namanya juga temuan acak iseng. Belum tentu semua pungutan jelajah auditif akan melekat awet. Seiring usia, tonal memory awam seperti saya lekas pudar.

Maka terjawablah soal utama mengapa umumnya orang tua cenderung hanya tahu lagu lama dan kurang dapat menikmati discovery. Nampan dan kemudian laci mereka, eh kami, termasuk saya, sudah penuh, tidak dapat dikompres kecuali saat demam.

8 thoughts on “Musik dan usia pendengar

  1. Ternyata semua memang akan konservatif (?) sesuai jamannya, ya, Paman?

    Orang dahulu menyebut generasi saya tidak sopan (dalam hal tertentu), kemudian generasi saya menyebut generasi berikutnya tidak sopan juga πŸ˜…

    Jaman memang selalu berubah, termasuk norma-norma yang dianut masyarakat dalam tiap generasi.

  2. Dulu aku juga termasuk orang yang gak update dengan musik terbaru. Taunya cuma lagu-lagu di jaman aku tumbuh kembang dewasa (halah). Tapi, sejak berlangganan Spotify, dengan sengaja aku menerima lagu apapun yang dimainkan secara acak oleh Spotify. Dari sana aku berkenalan dengan nama-nama yang baru aku kenal dan aku eksplor lagu-lagu mereka. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *