Mungkin pembaca jemu, editor juga, maka polemik diakhiri. Silakan lanjut ke grup WA, dan menyiksa anggota lain dengan teks panjang.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Polemik seni rupa kontemporer di Kompas Minggu

Catatan redaksi Kompas di bawah paragraf terakhir artikel ini menarik. Polemik diakhiri. Silakan melanjutkan diskusi di media sosial dan grup WhatsApp.

Itu hak redaksi. Lagi pula topik tentang seni rupa, pakai atribut kontemporer pula, bukan lauk semua orang. Tidak bisa sebuah topik dengan saling sanggah diulur berkepanjangan di media dengan ruang terbatas. Pada era prainternet saja bisa membuat jemu pembaca yang tak berminat apalagi sekarang ketika saluran digital untuk berdebat kian kaya.

Polemik seni rupa kontemporer di Kompas Minggu

Topik seni dan kebudayaan adalah topik berat — setidaknya, eh terutama, bagi saya. Memang perlu tapi tidak untuk semua orang. Bahkan di grup WA pun, dengan anggota yang punya irisan tumpang latar serupa, pun belum tentu sebuah topik yang ditulis panjang dan berargumentasi kuat pasti menjadi penting dan menarik untuk semua dan setiap orang.

Ditulis di Twitter? Bakal menjadi serial kultwit yang bikin penat. Ditulis di Facebook? Boleh, dan semoga semua kawan dalam jejaring doyan.

Bagaimana kalau ditulis di blog masing-masing penulis, lebih sip kalau di Medium? Halah, blog itu kan klangenan masa lampau. Sejak dulu lebih mirip solilokui yang boleh dibaca publik. Ya, seperti Blogombal ini.

Polemik seni rupa kontemporer di Kompas Minggu

Oh, kalau begitu akan elok jika ada situs web yang menampung polemik macam itu tadi? Ya. Platformnya terserah. Sebagai arsip, isinya lebih terhimpun.

Kembali ke topik. Soal seni dan apalagi kebudayaan memang berat. Kenapa? Tak semua merasa paham. Lain halnya dengan topik politik, hampir setiap orang merasa paham dan bisa menyatakan pikiran. Semakin seru perdebatannya, apalagi jika mewakili pandangan masing-masing kubu, semakin menarik untuk disimak bagi yang suka.

“Perdebatan” hingga hari ini , dalam arti saling serang kubu, tak perlu argumentasi tertata — sebagai ekses keterbelahan masyarakat sejak Pilpres 2014, Pilgub DKI 2017, dan Pilpres 2019 — adalah contoh. Padahal para politikus setiap kubu santai-santai saja, tak memutus tali silaturahmi antarmereka, bahkan pindah kubu dianggap biasa.

Tentu tak berarti setiap lontaran pendapat dan info berarti serangan terhadap kubu lain. Namun setiap kubu akan memanfaatkannya sebagai lauk percekcokan. Seliweran wacana, termasuk yang melenceng, seputar Covid-19 adalah contoh.

Karena hampir semuanya di media sosial, maka tak perlu ada redaksi yang membuat maklumat pengakhiran polemik. Suka-suka setiap orang yang gemar bertengkarlah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *