Sejauh aku ingat selama perjalanan usiaku, belum pernah Indonesia seruwet ini.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Aku beruntung tak cepat mencerna angka, begitu pun mengingatnya. Tapi celakanya ada kurva. Ada pula simbol panah ke atas. Aku tahu ada yang bertambah, selain yang sembuh juga yang positif Covid-19 dan meninggal.

Kian hari angka dan kurva itu hadir dalam rupa kabar muram orang-orang yang aku kenal: saudara dekat, saudara jauh, tetangga, teman, kenalan, orang demi orang yang tak aku kenal secara pribadi namun aku tahu.

Aku tak ingat selama tiga minggu terakhir sudah berapa kali Toa masjid mengumumkan berita lelayu. Memang tak semuanya karena Covid-19 tapi warga setiap RT akan tahu jika warga RT lain berpulang karena virus korona.

Kabar demi kabar seputar pandemi bisa menjadi perang wacana. Soal semantik bisa berkepenjangan: kolaps atau melebihi kapasitas jika menyangkut rumah sakit. Apa pula maksud pernyataan terkendali. Skeptisisme kadang menebal: apa yang tersajikan dalam data resmi belum tentu mewakili kenyataan lebih besar di lapangan.

Nasihat bestari katakan jangan saling menyalahkan. Kadang bermuatan tambahan: jangan merayakan orang yang mulanya abai, bahkan tak percaya Covid-19, akhirnya kena juga.

Banyak nasihat dan ajakan terang: virusnya kompak, manusianya harus bersatu, pemerintahnya satu kata, dan seterusnya.

Akan tetapi ada juga seruan agar presiden undur diri. Wajar jika banyak orang kesal terhadap keadaan. Apalagi jika kehilangan orangtua, suami, istri, kakak, adik, dan anak karena direnggut pandemi. Gumpalan hitam yang bergejolak dalam diri bisa memunculkan tuntutan yang sulit dicerna.

Pandemi bukan hanya soal sakit dan meninggal, berapa pun angkanya. Wabah juga berarti pacuan waktu: kapankah tuntas teratasi dan bilakah ekonomi pilih lagi, apa benar paling lekas dua tahun ke depan, bahkan bisa tiga tahun — dan itu pun dengan syarat pertumbuhan setidaknya lima persen.

Aku tahu pemerintah dan semua pihak yang berkehendak baik terus berusaha. Tapi sejauh aku ingat selama perjalanan usiaku, belum pernah Indonesia seruwet ini.

Tidak, tidak. Aku tidak putus asa meski aku waswas bara obat nyamuk terus bergerak, bukan merambat namun berlari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *