Radio transistor portabel masih menyenangkan. Aplikasi di ponsel tinggal meneruskan sebagai teman saat jauh dari colokan setrum.
โ†ป Lama baca 2 menit โ†ฌ

Mencuci pakaian sambil mendengarkan radio

Niat saya bukan bernostalgia tapi karena terpaksa. Sudah sepekan lebih saya mencuci sebagian besar pakaian orang rumah karena ART kami liburkan. Beberapa waktu lalu keluarga mertuanya menugasi dia membeli 700 selongsong ketupat — tentu untuk diisi dan dimasak — di tengah kasus Covid-19 naik terus. Kami waswas bakal ada kerumunan di kampungnya, sekitar 2,5 km dari rumah kami.

Nah, saat ini sejak pagi saya mencuci dalam lima gelombang, sesuai pengelompokan jenis pakaian dan bahan — karena pandemi membuat kami lebih sering ganti pakaian — sambil memutar radio di ponsel, lalu saya bunyikan di weker merangkap spiker. Mestinya saya dulu beli clock radio merangkap spiker Bluetooth.

Dulu semasa kuliah, kalau mencuci di dekat sumur saya selalu membawa radio transistor. Noisy tapi ya saya nikmati. Radio AM, belum ada stasiun FM, kecuali siaran RRI Nusantara II Yogyakarta. Generasi saya mengalami mencuci sendiri karena dulu belum ada laundry kiloan — bisnis jasa yang lahir terlambat itu sehingga menyusahkan kami.

Entah kenapa hingga saya masih suka radio. Mungkin karena merasa ditemani, ada suara penyiar seperlunya dan secukupnya. Hanya info penting dan menarik, singkat, lalu musik lagi.

Kalau memutar podcast sambil bekerja malah tak saya lakukan. Terlalu lama mereka ngoceh, apalagi jika host dan tamu sering ngakak sendiri. Pengecualian berlaku untuk podcast Cak Lontong dan Akbar, pendengarlah yang tertawa.

Kurang suka podcast karena bukan siaran langsung?

Eh, padahal bisa saja siaran radio tidak real time. Bisa berupa hasil rekaman. Nyatanya saya kadang masih mendengarkan BBC Indonesia di Spotify, padahal itu rekaman. Tapi endapan benak saya telanjur menerima itu sebagai siaran dari stasiun radio. Soal persepsi.

Radio someone still loves you, kata Queen. Dalam perjalanan dengan mobil maupun saat melakukan sesuatu di rumah, saya sering memutar radio — kalau mobil hampir selalu radio. Apabila di rumah sumber suara saya bergantian dengan Spotify, karena Apple Music sering saya liburkan padahal berlangganan.

Kalau dalam perjalanan naik KRL dan Transjakarta? Tidak saya lakukan karena saya tidak tahan memakai earphone maupun headphone. Mungkin nanti setelah tak ada pandemi, sehingga saya bisa naik kereta dan bus lagi, saya terpaksa memakai pelantam suara karena akan semakin banyak konten audio visual.

Lalu radio apa yang kerap saya setel? Tentu yang cocok dengan saya, tepatnya usia saya, antara lain Most 105,8 FM dan Brava 103,8 FM. Saya sempat menyukai Smooth 99,5 FM entah kenapa saya tinggalkan, lalu baru ingat lagi saat menulis ini.

Kalau Sonora sudah lama saya tinggalkan. Begitu pun Elshinta kecuali sedang butuh mengikuti sebuah berita menarik.

Ada masa ketika belum ada media sosial, dan belum banyak stasiun radio bersiaran hingga pagi, dulu kalau sedang begadang kerja yang ada artinya seperti nasihat Bang Rhoma, saya menyimak diskusi pendengar Elshinta. Pesertanya pensiunan, tercermin dari vokal mereka, pakai batuk pula, kalau bicara sulit diminta cekak, mungkin karena sudah lama mengantre sambil duduk di sebelah meja telepon, hanya akan menambah tagihan pulsa. Pernah saya nimbrung dari telepon kantor, kalau arus utama bilang A saya akan bilang B. Pendengar ada yang marah, menganggap saya orang kaya yang egoistis, karena setuju semua harga naik, bermula dari kenaikan harga BBM.

Tuturan barusan sangat khas pensiunan, bukan? Panjang. Muter-muter.

Kembali ke soal stasiun kesukaan. Kini begitu tuanya saya sehingga ternyata saya lebih menyukai radio yang menyapa saya Anda, bukan kamu, bukan kalian, bukan lu.

Penyiar kesukaan saya? Ralph Tampubolon alias Pak RT di Most. Memang berbeda dari Ifeb di M97 FM dulu, tapi sama dalam membangun suasana akrab dengan pendengar mature — istilah santun untuk tuwir bin tuwรจk.

Selain Pak RT saya suka Farah Tubagus di Brava. Suaranya enak, tutur kata bagus dan lancar, dengan bahasa yang tertata, padahal dia bicara secara impromptu tanpa teks. Itu dulu, tapi kalau dia pegang talkshow saya jarang menyimak.

4 thoughts on “Mencuci ditemani radio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *