Tanpa YouTube? Ayo ngentub, Mas Sastra Pandelepan…

Kisah human trafficking dalam bahasa Jawa ala Nah Ini Dia di Poskota.

▒ Lama baca 2 menit

Kawin kontrak Panjebar Semangat dalam gaya Poskota

Saya dan istri tertawa terus saat putri sulung kami membaca Panjebar Semangat No. 25 (19 Juni 2021) dengan suara keras, tentang kawin kontrak di Puncak, Bogor. Dia tidak bisa berbahasa Jawa namun dapat menangkap garis cerita. Artikelnya bertutur jenaka.

Misalnya, alternatif bagi PSK yang tidak bisa meraup duit di YouTube adalah dengan mengajak “you ngentub (menyengat)”. Sayang, itu bukan mengutip narasumber sehingga dapat disebut mengadili PSK.

Sastra pandelepan

Anak saya kagok dalam melafalkan semua kata sehingga istilah lucu menjadi semakin menggelikan. Misalnya “sastra pandelepan“, sebutan untuk hidung belang. Begitu pun, maaf, “pelanyahan bersyariah”, dua kata yang berseberangan karena pelanyahan adalah prostitusi.

Istilah itu digunakan untuk contoh bagi tuturan “Jamané apa-apa sarwa ngganda agama…” Artinya, zaman ketika apa pun serbaberbau agama.

Sebenarnya artikel tersebut bermaksud menyajikan sesuatu yang pahit dan menyakitkan, bertentangan dengan adab, yakni perdagangan orang atau human trafficking. Tapi karena dituturkan secara jenaka, apalagi dibaca oleh anak Jawa yang tak fasih berbahasa Jawa, sebagian babak tergelincir menjadi kemasan kocak.

Padahal kawin kontrak bukan transaksi antarorang dewasa yang bebas. Ada mafia yang mengaturnya. Sepekan kontrak berbiaya Rp15 juta – Rp25 juta”; tapi yang separuh untuk calo, wali, penghulu, dan saksi abal-abal. Lantas ada kembang tuturan, dengan merujuk Koran Tempo, seorang PSK yang masih gadis mendapatkan mahar Rp150 juta, dengan uang belanja harian Rp750.000, “[…] sasat ora kober ngaso, awit keng raka saben dina cumbana anutug.” Intinya, dia tak sempat rehat, harus melayani suami terus.

Alfian hanya betah semalam

Sebenarnya kawasan Puncak mencakup Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Nah, begitu membaca tuturan tentang masa lalu, tentu saja anak saya bingung. Turis Arab bisa berlama-lama di Cianjur, “Mangka dhisik Alfian tahun 1964-an mung betah sewengi…”

Lalu ada lanjutannya, “[…] merga Alfian terus bablas menyang Irian Barat ndelok endahé wayah soré ing Kaimana.”

Alfian hanya betah semalam di sana, karena segera ke Papua. Editor menambahkan catatan, dengan menyebutkan lagu “Semalam di Cianjur” dan “Senja di Kaimana”.

Humor macam itu, dalam istilah anak sekarang, khas “gaya bapuck bapuck WhatsApp”.

Tuturan ndhugal

Zig-zag nian si penulis bertutur. Banyak hal dipertautkan dengan kawin kontrak. Langgam seperti ini mengingatkan saya kepada rubrik Nah Ini Dia di Poskota.

Ternyata artikel ini ditulis oleh Gunarso T.S. Saya baru tahu setelah selesai membaca artikel. Dia itulah yang mengampu Nah Ini Dia dengan konten andalan hubungan ekstramarital. Rubrik ini pernah menjadi serial TV.

Ihwal ngandheg, atau kehamilan beberapa PSK, sehingga berbuah anak, ada contoh seorang bocah tiga tahun, “[…] praupané jan Timur Tengah banget, nanging omongé ora ane-antum, kejaba basa Sunda.” Wajahnya Timur Tengah, hanya bisa berbahasa Sunda.

Entahlah apakah orang Arab dari Timur Tengah menggunakan ane dan antum karena setahu saya itu dialek Indonesia (Betawi?) yang merujuk Arab. Bahkan kata yang bisa berbahasa Arab, antum itu jamak.

Lalu? Bukan maksud saya memandang perdagangan orang — hukum di Indonesia menyebutnya begitu, bukan perdagangan manusia — sebagai lelucon, karena saya hanya ingin berbagi kesan bagaimana sebuah majalah berbahasa Jawa, yang terbit sejak 1993, mengemas sebuah kisah.

Saya menduga, PS pada masa awal tak mengenal gaya bertutur ndhugal, badung, nakal.

Dokter Soetomo, sang pendiri majalah, penggerak Budi Utomo, dalam imajinasi saya adalah seorang priayi santun.

7 Comments

devie Rabu 16 Juni 2021 ~ 18.37 Reply

Paman, ada kontak buat langganan kah? Nuwun.

Pemilik Blog Kamis 17 Juni 2021 ~ 03.59 Reply

Hubungi bagian langganan 085645663491

devie Kamis 17 Juni 2021 ~ 12.50 Reply

Terima kasih. Sudah siap dikirim edisi Juni. Akhirnya…

Jagawana Kimi Rabu 16 Juni 2021 ~ 09.47 Reply

Aku baru tahu ini ada Panjebar Semangat. Hihihi… Aku kudet.

Pemilik Blog Kamis 17 Juni 2021 ~ 03.56 Reply

Padahal terbit sejak 1933. 🙈

Candra Widanarko Selasa 15 Juni 2021 ~ 21.04 Reply

Panjebar Semangat mengingatkanku pada almarhum eyang. Mereka berlangganan majalah itu. Ada cerpennya segala kan ya? Tapi ya saya amatlah berjuang keringetan untuk memahami isinya. Perlu penerjemah. Biasanya bapak atau ibu yang membantu menceritakan ulang. Meski kurang seru karena ada istilah-istilah yang hanya menyenangkan jika paham maknanya hehehe.

Pemilik Blog Selasa 15 Juni 2021 ~ 22.12 Reply

Yeah, itulah masalah dalam bahasa apa pun 😛

Tinggalkan Balasan