Banjir itu persoalan komunal dan lingkungan. Ketika negara kewalahan mengatasi, warga menempuh solusi masing-masing.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Membentengi rumah dari banjir dengan terus meninggikan pagar

Lumrah. Di mana pun begitu. Lebih murah membuat pagar penahan air ketimbang meninggikan bangunan. Meninggikan lantai juga mudah sepanjang tanpa meninggikan atap maupun kloset.

Deretan kios di dekat saya semakin sering kemasukan air karena saat hujan genangan kian tinggi. Juga, makin ke sini makin lama surutnya. Membuat pagar harus diikuti tangga baru. Seperti kios fotokopi ini. Belum lama berselang si pemilik meninggikan pagar sehingga bagian bawah stiker vertikal pun tertutup. Kalau air menang, bagian dalam kios menjadi kolam.

Penanda lain bahwa drainase di area tempat tinggal saya dan sekitarnya makin buruk adalah jika hujan empat jam oh… jalan depan rumah saya menjadi kali setinggi bagian tengah tulang kering.

Hampir tiga puluh tahun saya tinggal di kompleks ini. Di blok saya dulu jarang kebanjiran. Sejauh ini air tak masuk ke rumah saya karena rumah lama saya ambrukkan lalu saya bikin rumah baru dengan lantai nol lebih tinggi. Reruntuhan bangunan lama menjadi bahan peninggi rumah baru.

Waktu itu, 2002 (tapi rumah baru jadi 2006), saya memperkirakan sepuluh tahun mendatang blok saya bakal kebanjiran. Perkiraan sotoy saya meleset. Baru 2019, bukan 2012, blok saya kebanjiran, saat kami sekeluarga sedang berlibur akhir tahun ke Jateng dan Jogja.

Sampai kapan aman? Saya tidak tahu. Lingkungan terus berubah dalam arti memburuk. Bangunan di sekitar terus bertambah. Drainase entah. Padahal kawasan kompleks saya secara topografis paling rendah di area yang lebih luas, yang dahulu banyak tanah terbuka, berupa halaman maupun kebun.

Lalu kenapa banyak rumah tinggal dan kios di kawasan saya dibangun dengan lantai nol cuma 20 cm dari tanah? Mungkin soal arsitektural, mungkin juga IMB tak ditegakkan, atau semua patuh IMB tapi pemkot tak memberikan masukan, atau atau atau apalah saya tak paham.

Di wilayah tertentu, misalnya kampung yang dulunya jalan tanah, bahkan tanpa parit, banyak orang, menurut kesan saya, tak memperhitungkan bahwa pengerasan jalan pada masa nanti berarti peninggian permukaan jalan.

Sekarang Juni. Tapi masih sering hujan. Banjir masih mengancam. Lalu nanti kemarau panjang, makin banyak sumur yang kehabisan air padahal dulu tidak. Resapan air semakin berkurang.

Kita selalu gagap, bahkan sering gagal, ketika menghadapi air.

2 thoughts on “Bersiasat menyambut banjir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *