Bukan zamannya lagi orang desa yang punya hajat harus bikin wajik dan jadah karena tidak efisien.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Jadah pandan belum punah, jadi hidangan rapat, bisa beli ketengan

Wajik. Juga jadah (juadah) dan krasikan, benarkah itu suguhan gaya desa di Jawa? Dulu begitu. Sekarang tidak. Orang punya gawe belum tentu menyediakan.

Saya ingat, dulu waktu masih bocah setiap kali diajak jagong mantèn di desa selalu ada ketiga jenis penganan itu. Saat bertamu ke rumah orang pas Lebaran, tiga sekawan itu kadang juga terhidangkan. Sekarang adalah era nastar.

Apakah saya menyayangkan ketika penganan itu tidak dibikin lagi oleh keluarga empunya hajat? Tidak. Ekonomi pasar memberikan kemudahan. Apalagi kesejahteraan orang dalam lima dasawarsa sudah lebih baik.

Wajik, dan jajan pasar lainnya, tetap ada, bahkan tersajikan dalam rapat-rapat kantor. Di Jakarta, dari Monami ada jadah, lapis, sampe kue procot. Beli sepotong pun boleh.

Selain wajik berwarna cokelat, saya juga suka wajik merah atau jambon. Tersebab warna saja. Entah kenapa jadah dibiarkan putih semua.

Tentang hidangan rapat, saya teringat Ahok waktu memimpin DKI. Dia dapati penganan dinas itu termasuk pos yang dikorupsi.

2 thoughts on “Wajik, jadah, dan krasikan sebagai suguhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *