Alangkah sulitnya nama diri perempuan tetap mendapatkan pengakuan sosial di luar KTP dan rekening bank.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Soal biasa, penanaman program promosi. Alfamart punya Pak Rahmat dan Bu Rahmat. Singkatan Paket Ramadhan Hemat dan Paket Buka Ramadhan Hemat. Dulu Texas Fried Chicken punya Pak Eko.

Lalu hampir semua lapak daring punya aneka nama program, saya sampai lupa apa saja, karena yang saya ingat cuma yang kolektif: Harbolnas.

Lalu? Saya akan mengulur rerasan ke arah lain. Misalnya Pak Rahmat dan Bu Rahmat itu memang nama orang, siapa nama asli Bu Rahmat?

Nama asli

Jika Bu Rahmat hidup di era ponsel biasa, belum ada Facebook (FB) maupun Twitter dan Instagram, apalagi Tiktok, besar kemungkinan di buku alamat ponsel ibu saya namanya juga Bu Rahmat. Kecuali jika ibu saya mengenal nama aslinya sejak dulu, dan memanggilnya dengan nama asli. Anda pasti tahu, di phonebook ponsel milik seorang ibu, banyak entri beratribut Bu lalu diikuti nama suami.

Misalnya Bu Rahmat bekerja, maka di tempat kerjanya dia punya nama sendiri. Hampir tak ada yang menyebutnya Bu Rahmat.

Taruh kata Bu Rahmat bukan wanita bekerja, dan di lingkungan tempat tinggalnya dia memang bernama Bu Rahmat, tetap ada ruang sosial yang mengakui nama dia. Misalnya dalam lingkup keluarga besar, termasuk keponakan dan ipar. Sebutan Tante, Bude, Bulik, sampai Mbak dan Yu selalu diikuti nama asli. Sama seperti ibu saya yang di lingkungan tertentu masih punya nama asli, termasuk dari bekas muridnya semasa Ibu mengajar SD Bopkri Gondolayu di Yogyakarta.

Lho, bukankah itu lumrah? Ya.

Lalu?

Berkah WhatsApp

Baiklah, mari melompat ke era WhatsApp (WA). Kalau di FB sih jelas: Bu Rahmat menggunakan nama asli atau nama julukan sendiri. FB menjadi sebuah ruang sosial bagi Bu Rahmat tanpa harus berurusan dengan suami.

Dalam era WA, yang kemudian diikuti dengan keterlibatan di grup, setiap perempuan juga bebas menuliskan namanya sendiri — memang sih di ponsel orang lain nama seorang perempuan bisa menjadi Bu Siapa mengikuti nama suami.

Kaum ibu sepuh pengguna WA, yang sebaya ibu saya, belum tentu pengguna FB. Nama asli seseorang di WA, asalkan belum diganti oleh orang lain, lebih mudah terlihat di ponsel tetangga yang segrup, karena di lingkungan tempat tinggal hampir semua orang pakai WA. Berbeda dari FB, kan?

Maka di grup WA RT dan gereja, saya mendapati banyak nama asli para ibu. Sering kali saya harus berpikir keras untuk mengenali itu istri Pak Siapa, sampai kemudian ada anggota lain menyebutnya Bu Siapa.

Aneh juga, para ibu sudah menyatakan nama diri dalam nomor ponselnya, namun ujung-ujungnya tetap menjadi Bu Siapa. Benak saya juga berpikir serupa karena telanjur terbingkai: seorang istri harus mengikuti nama suami, bukan sebaliknya.

Pengakuan sosial dan negara

Dulu banget, ketika kami baru beranak satu, masih bayi, lalu pindah ke lingkungan baru, saya menahan tawa dalam kamar ketika dua orang ibu yang bertamu menanya istri saya, “Maaf nama Ibu ini siapa?”

Bukan pertanyaan itu yang bikin geli tapi jawaban istri saya tak spontan, “Oh, saya Bu Antyo.” Agak janggal di telinga saya. Dan dia rupanya sedang menyesuaikan diri dengan status sebagai nyonya.

Itulah pertama kali saya mendengar istri saya menggunakan nama suami, padahal sebelumnya dia selalu memakai nama dia sendiri, bahkan eks-sejawat saya hingga kini masih menyebut nama istri saya dengan nama dirinya.

Dalam perjalanan waktu, sebagian tetangga menyebut istri saya Bu Antyo, namun masih banyak yang menyebut Tante dan Bu diikuti nama kecil istri saya, terutama oleh anak-anak tetangga yang sekarang sudah dewasa dan menjadi orangtua.

Hmmm… alangkah sulitnya nama diri perempuan tetap mendapatkan pengakuan sosial di luar KTP dan rekening bank.

Oh, dua hal itu menyangkut legalitas, pengakuan sipil oleh negara.

8 thoughts on “Pak dan Bu Rahmat mengikat janji, tapi di medsos pakai nama sendiri

      1. BTW istri sy sangat tdk senang kalau orang memberi undangan pernikahan tapi nulisnya nama gaco misal mbak lies selat/lilis selat/bpk dhodho.

        menurut dia, kalau memang menghargai yg diundang, mestinya pengundang menulis nama lengkap yg diundang di amplop.

        lha lies/lilis itu cuma nama panggilan/parapan yg jauuuuuh dari nama aslinya, sebgmn nama panggilan saya (dhodho) juga jauuuuuuuh dari nama asli (junianto setyadi)😁

  1. jadi ingat kalo di formulir bank (dulu, sekarang bank modern kayanya ngga ada), ada kolom “nama gadis”..

    soal nama ini, ada lelucon juga di Jerman.

    “`
    what does a woman get after marrying a German man that is long and hard?

    her new name..
    “`

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *